Hair Cut



            Hi, there.
            It’s been a while.. nggak nulis seperti ini. Padahal akhir-akhir ini juga hidup saya nggak seabsen itu dari hal-hal yang menggelisahkan. Tetapi mungkin justru karena banyaknya hal yang menggelisahkan itulah yang menjadikan saya enggan menulis lebih lanjut. Terutama karena seperti yang telah saya katakan sebelumnya, pengetahuan saya masih sangat tipis dan tidak menyeluruh.
            Saya kembali di blog ini dengan pikiran yang lebih segar dan ringan. Lebih dari biasanya. Semester baru sudah di depan mata dan saya tahu masih akan ada banyak kesulitan yang menghadang. Sejujurnya mungkin hal itulah yang membuat saya tak lagi ambil pusing dan memangkas rambut saya. Lho, kok?
            Sebelumnya, seperti post-post tak penting lainnya, saya akan sebisa mungkin menceritakan dari mana ini bermula dan bagaimana ini berakhir di blog saya. Bagi Anda yang membacanya sebagai sebuah kesan narsistik yang ingin saya tinggalkan, tolong tanggalkan itu terlebih dahulu karena apa yang awalnya Anda baca bukanlah menjadi tujuan utama saya.


Saya ingin mengatakan bahwa saya masih perempuan yang menjadi gusar akan bagaimana dirinya terlihat di depan publik. Kali ini terlepas dari sikap saya, saya pun masih khawatir dengan penampilan saya. Fisik saya. Sejak mengenal kosakata dan makna kecantikan bertahun-tahun lalu, saya merasa tak banyak berubah. Saya tumbuh dan berkembang layaknya perempuan lainnya. Dari yang tidak mengenal, kemudian mulai mengenal, dan menjadi lihai mematut diri.
            Ibu saya – tentunya tak pelak sebagai salah satu orang paling berpengaruh dalam hidup saya – selalu mengatakan pada saya bahwa masa SMA adalah lebih baik bagi saya untuk berambut pendek saja. “Nanti ketika kuliah baru dipanjangkan,” begitu ujarnya selalu ketika saya menggerutu tentang rambut saya yang inilah itulah. Saat itu penampilan saya tidaklah seperti sekarang. Bedak hanya kenal satu merek, itupun belinya di apotek. Lipstick, eyeliner, blush on, dan lain-lain adalah hal yang baru saya kenal ketika saya menghadiri acara-acara tertentu. Hingga keikutsertaan saya di ekstrakulikuler cheerleader memaksa saya untuk sedikit-sedikit bisa dandan, terutama mendandani diri sendiri karena rempong banget di ekstra itu ada 20-an perempuan dan seringkali tanpa teknisi make up. Maka sebelum-sebelumnya, tradisi kecantikan bagi saya masih terletak pada bagaimana saya menjadikan rambut saya cocok bagi saya dan enak dipandang, dengan kata lain sebagai indakator utama kecantikan bagi saya.
            Saya lahir dengan rambut lurus, cukup tebal saya rasa. Berwarna hitam legam. Eksperimen pertama dengan rambut dimulai ketika tante saya iseng mewarnai rambut keponakan dan anaknya dengan cat rambut merah. Saat itu 2006, kalau tidak salah. Di mana cat rambut masih merupakan funky yang baru di kehidupan keluarga kami yang disiplin. Jadilah kami berambut merah persis seperti seng karatan ke mana-mana. Lalu kelas 1 SMP, iseng-iseng saya me-rebonding rambut saya supaya lurus. Waktu itu saya diomeli ayah karena buat apa rebonding rambut yang sudah selurus ijuk ini. Tetapi waktu itu masanya mode ikut-ikutan. Ketika orang lain tampak bagus mengenakannya, tak ada salahnya bila dicoba. Saya cukup puas dengan hasilnya walau saat ini kalau mengingatnya saya masih pengin tertawa-tawa.
            Rebonding membuat rambut saya tak hanya lurus, tapi berefek jelek kemudian. Rontok yang cukup parah dan keadaan rambut yang sudah tak lagi teratur membuat saya memangkas rambut saya sependek-pendeknya hingga cepak. Mirip lelaki. Waktu itu enak banget. Tidak perlu repot menghabiskan banyak shampoo dan bisa keramas setiap hari. Hingga ketika saya masuk SMA, saya memutuskan tidak menjaga potongan rambut ekstra pendek itu dan mulai memanjangkan rambut. SMA adalah masa yang penuh kebaharuan yang menjanjikan dan tentunya, saya inginkan. Dan tentu saja rambu tidak tumbuh secepat nge-charge baterai ponsel. Ketika rambut saya sudah beberapa sentimeter di bawah telinga, saya diolok-olok, disamakan dengan Dora the Explorer. Sebelumnya perlu saya katakan bahwa, tanpa alasan yang jelas, semua siswi dan PNS beragama Islam dari SMP hingga SMA dan sederajat wajib menggunakan seragam panjang dan berkerudung di kota saya. Hal itu jugalah yang mendorong saya tidak banyak mengeluh dan ambil pusing soal rambut karena, toh, juga jarang kelihatan. Rambut pendek akan lebih nyaman dibanding rambut panjang yang tetap harus dirawat seolah tidak berkerudung.
            Saya sempat tak ambil pusing dengan olokan itu. Penampilan saya waktu itu memang tidak menarik sama sekali, mungkin. Tidak ada indah-indahnya. Dengan badan setipis triplek, nyaris kurus kering, tinggi tidak seberapa, rambut yang tidak menarik, wajah apalagi. Ditambah masih meremnya saya akan sense of fashion selain mengenakan apa saja pakaian yang tersedia di lemari. Tak ada protes, sekian.
            Harus saya akui, hati terdalam saya merasa sedih waktu itu. Saya kini mengingatnya sebagai romantisme masa-masa SMA yang terkadang ingin saya tertawakan. Ketika masih tak ada yang digelisahkan selain mengapa kakak angkatan A jutek pada kita dan bagaimana caranya tidak terlambat sekolah. Sementara teman-teman putri saya yang lain mulai terlihat ‘aura’nya, saya masih begini-begini saja. Seperti anak SMP kelas 1 yang diblesekkan secara paksa di antara sekelompok gadis remaja yang sedang ranum-ranumnya. Tak menarik, tak penting.
            Bahkan gara-gara penampilan saya itu, saya tak pernah dianggap sebagai anggota cheerleader, pada awalnya. Semua senior cheers, yang notabene perempuan, akan seolah-olah melihat saya kemudian abai, dan semua lelaki yang mengetahui saya anggota cheers akan mengernyit, tak percaya. Tetapi percayalah, kesedihan saya waktu itu sangat bisa ditolerir. Begitu jamak.
            Hingga ketika saya mulai naik ke kelas XII dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah, saya mulai menghargai apa yang saya miliki daripada bersusah hati karena tak mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya mulai banyak mengenal orang, hobi, kesukaan, dan lain sebagainya. Menari, yang dulu saya jadikan determinasi utama, menjadi tergeser. Hanya sebagai hobi di waktu senggang, itupun di kamar sempit saya di rumah. Yang penting saya masih bisa senang, begitu pikir saya waktu itu.
            Masa itulah Ibu saya juga menyadari perubahan anaknya. Dari yang dulu membelikan tipikal pakaian-pakaian remaja awal yang kekanak-kanakan, ia mulai berhenti membelikan saya setelan dan beralih pada pakaian-pakaian yang menurutnya cantik apabila dikenakan. Saya menikmati perubahan lemari saya dari yang lucu, menjadi cantik. Dan semuanya adalah andil Ibu. Saya masih tak bisa memilih, masih terjebak dalam euforia di mana seseorang yang kelihatan baik mengenakan sesuatu berarti baik pula pada diri sendiri.
            Hingga suatu ketika, saya merasa bahwa tak ada gunanya lagi saya berkembang. Saya berhenti karena olokan kakak angkatan saya yang hingga saat ini masih begitu jelas saya ingat. Demikian jelasnya hingga adegan per adegan itu seolah mimpi buruk yang tak lagi menakutkan.
            Hari itu adalah persiapan sebuah perhelatan di sekolah kami. Saya sebagai panitia pun datang dan melaksanakan tugas saya bersama teman-teman yang lain. Pekerjaan itu berlangsung dari sore hingga malam. Tak lama saya sadar bahwa saya adalah satu-satunya perempuan di aula itu. Sementara kami menghias backdrop yang akan dipasang di panggung. Saya mengenakan tank top berwarna putih dan melapisinya dengan bolero warna merah marun. Berbawahan celana jins. Tentu saja sebagai satu-satunya perempuan di situ, saya mendengarkan banyak obrolan. Tentang si A yang sedang pedekate dengan Y, atau si X yang diomeli guru T karena kebanyakan berkegiatan di luar kelas, bahkan tentang siapa yang rebutan pacar dengan siapa. Sebagai perempuan yang tidak banyak kenal dengan teman-teman panitia lain, terutama laki-laki, saya pun banyak diam. Meskipun tentu saja tidak luput dari pembicaraan mereka. Mungkin mereka bosan, mungkin juga iseng. Para lelaki yang terdiri dari kakak angkatan dan teman seangkatan saya itupun mulai membercandai saya. Saya merasa senang di saat itu karena ternyata mereka memperhatikan saya. Selama ini saya tidak lagi dianggap transparan, setidaknya di organisasi.
            Ketika suasana mulai mencair dan tawa-tawa mulai menjadi, tiba-tiba salah satu kakak angkatan saya, sebut saja K, nyeletuk dengan nada biasa saja. Tetapi terasa begitu menikam, dalam, dan baru saya sadari sekarang bahwa ucapan itu mengendap demikian hebatnya karena rasa malu yang ditimbulkan. Rasa malu yang saya rasakan.
            K berkata, “nggilani awakmu, Nes. Koyok banci.”
            Dan saat itu saya terdiam. Mungkin muka saya semerah udang rebus dan saya dikenai keinginan hebat untuk saat itu juga melempar lem ke mukanya, tapi saya hanya mampu membeku sampai teman-teman lain pura-pura mengomeli kakak angkatan tersebut. Tapi tak ada sesal yang terlihat. Tidak ada rasa sungkan. Seolah hal biasa yang dilontarkannya, seolah saya tak ada. Untunglah tak berapa lama, saya bisa pulang.
            Sepanjang jalan saya ingin menangis, tetapi saya menahan-nahannya sekuat tenaga. Sampai di rumah, saya menyadari bahwa memang saya tidak seksi, tidak hot, tidak menarik, tidak cantik, tidak berbakat, bahkan tidak masuk hitungan bagi lelaki brengsek sekalipun. Saya ingat betul, nyatanya saat itu saya tidak menangis. Saya malah memarahi diri sendiri mengapa wajah saya seperti ini. Mengapa rambut saya seperti ini. Mengapa badan saya seperti ini. Mengapa saya tak bisa berusaha lebih keras.
            Ketika potongan rambut saya masih cepak, teman-teman sekelas saya di SMA masih suka membuka-buka facebook saya hanya untuk menggoda dengan memuji betapa tampannya saya dengan rambut seperti itu. Bahkan teman-teman lelaki ikut-ikutan menggoda dengan bergumam betapa irinya mereka dengan ‘ketampanan’ saya. Saya tak pernah ambil pusing, kecuali terkadang saya masih mendengarkan godaan itu hingga sekarang. Saya juga tak ambil pusing ketika saya sedang ada urusan di kelas sebelah, kemudian saya iseng buka komputer di depan kelas. Saya menemukan foto pendakian pertama saya di Lemongan dan melihat bagaimana anak-anak sekelas itu mencorat-coret muka saya dengan aplikasi paint melalui layar proyektor kelasnya. Saya juga biasa saja ketika kakak angkatan saya dengan enteng menyebutkan nama-nama teman seangkatan saya yang cocok untuk digebet dan berpenampilan menarik, tanpa melirik saya sama sekali meskipun saya ada di situ dan ia tahu itu.
            Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasa bahwa kecantikan tidaklah penting, terutama karena saya tidak memilikinya, dan saya menari habis-habisan.


            Masa-masa berikutnya terasa cepat. Lebih karena tak ada hal yang mencolok seperti sebelumnya. Saya melakukan smoothing agar rambut saya tidak lagi ekstra pendek seperti Dora the Explorer dan menyibukkan diri dengan hal-hal lain. Lambat laun, saya mulai mendapat panggung. Baik untuk menyanyi, menari, ataupun berakting. Dengan ketiga-tiganya, saya berperan dalam pensi sebagai ajang akbar sekolah. Terutama karena waktu itu adalah untuk pertama kalinya pensi yang sebelumnya berisi penampilan-penampilan kesenian hingga bintang tamu yang disebut satu per satu oleh MC menjadi sebuah rangkaian cerita sehingga semua penampilan disesuaikan dengan cerita dan mengisi alur cerita.
            Saya yang juga mulai aktif di cheerleader juga sempat mendapatkan cemoohan tak tahu diri yang dilayangkan oleh kakak angkatan saya lainnya. Ketika suatu kali saya dan teman-teman tampil di acara pembukaan sebuah acara sekolah, usai tampil kami berteduh sambil foto-foto di taman sekolah. Tiba-tiba beberapa kakak angkatan lelaki yang lebih tepat saya sebut alumni datang dan meminta saya untuk mengenalkan mereka dengan teman-teman cheers saya. Setelah saya kenalkan, mereka berseloroh, “Nes, mbok sumpel, ta?” dengan merujuk pada bagian dada saya. Tetapi ini masa yang berbeda dari sebelumnya. Masa ini saya sudah mengenal sederet makian dan bisa menggunakan seisi kebun binatang sebagai makian pula. Maka tak lama saya sudah melontarkan kata-kata yang apabila saya tuliskan di sini akan sebegininya membuat menteri pendidikan periode itu dievaluasi ulang atas sistem dan metode pengajaran, hingga mereka hanya bisa tersipu memerah, malu dibentak perempuan – anak cheers pula.
            Namun sejak saat itu, saya bisa memperlakukan K secara transparan. Tidak untuk balas dendam, tetapi melupakan apa yang ia katakan karena setelah melihat saya setelahnya, saya yakin ia bahkan tak ingat pernah melontarkan hinaan itu pada saya dan memandang saya sebagai satu dari yang tak mungkin mau melihat dirinya sebagai orang yang menarik. Yang tampak dari matanya begitu berbeda seolah saya adalah perempuan yang baru dikenalnya, bukan gadis transparan berbadan tepos yang dulu dikatainya sebagai banci.


            Kini setelah tiga tahun kuliah, saya memanjangkan rambut sebagai pembalasan dari yang dulu selalu ke salon tiap enam bulan sekali untuk memotong rambut dengan berbagai mode. Kini ke salon hanya untuk mengeriting, creambath, coloring, atau paling tidak merapikan sedikit untuk kembali merasakan enaknya dikeramasin. Dan tentu karena begitu besarnya pengaruh rambut bagi saya – hingga saat ini – perjalanan ke salon selalu lebih lama dari dugaan. Salonnya, sih, dekat. Mikirnya yang lama. Bisa sebulan ada kepikiran untuk ke salon tetapi tidak juga berangkat hingga urung, bahkan bisa berhari-hari kepingin banget dan kemudian sirna di suatu hari lain. Maka ketika kemarin saya merasakan kebosanan yang tak masuk akal dengan rambut panjang saya (fyi, sangat sedih merasakan ketika rambut panjang begitu cepat bertambah panjang dan rambut pendek begitu lama bertambah panjang), padahal saya baru dari salon bulan lalu untuk memperbaiki potongan dan mewarnai rambut, tak ambil pusing saya berkendara ke salon langganan dan memangkasnya hingga sebawah leher.
            Eat this.
            Mbak-mbaknya sampai melongo ketika saya menunjukkan seperti apa potongan yang saya inginkan tetapi seperti layaknya orang yang menjual jasa, ia cepat menguasai diri dan berkomentar pesimis, “nggak sayang Mbak, dipotong sependek itu?” dengan tambahan sederet pujian yang seolah bisa membuat saya melepaskan gunting dari tangannya.
            Saya menegaskan, “nggak apa-apa, Mbak. Potong aja.”
            Dan saya pulang dengan hati yang jauh lebih ringan.


            Tujuan saya memanjangkan rambut selama ini adalah untuk mengikuti sebuah acara yang sayangnya tak bisa saya ikuti karena dua tahun lalu saya kecelakaan. Sehingga orang tua saya sempat merasa bahwa keinginan saya untuk menghilangkan rambut panjang itu adalah sebuah efek berkepanjangan dari jatuh ke jurang. Saya menurut untuk menghilangkan kekhawatiran itu dari orang tua saya.
            Kini ketika saya berambut pendek, saya mendapatkan respon yang begitu berbeda dengan dahulu. Jangankan mengatai saya, beberapa orang terdekat memberikan masukan yang membuat saya ingin memeluk mereka. Saya sama sekali tak berharap akan mendapatkan pujian setinggi langit, percuma juga ketika kita tidak tahu mana yang benar dan tidak. Tetapi melihat bagaimana orang-orang yang saya pedulikan bersikap atas perubahan saya membuat saya sedikit banyak menghangat dan berjanji akan lebih peduli bagi mereka pula.
            Saya merasakan banyak perbedaan. Beberapa tahun lalu, rambut panjang seolah menjadi tolak ukur utama sehingga membuat banyak perempuan berlomba dan banyak lelaki berlomba pula. Kini kita mengenal berbagai macam definisi kecantikan. Dari yang lumrah hingga yang tidak masuk akal. Begitu pula cara meraihnya. Sulam alis, filler bibir, contouring, dan lain sebagainya adalah hal yang bisa sehari-hari dilakukan perempuan untuk memuaskan hasratnya akan kecantikan. Walau tak sampai ke sana, saya pun mengakuinya. Kepercayaan diri seringkali dipahami sebagai sesuatu yang gained dari orang lain. Sejak beberapa waktu belakangan, saya memahaminya sebagai personal yang harus saya kenakan ketika saya melangkah dari kamar saya. Zona nyaman saya dalam kesendirian.
            Kepercayaan diri itu muncul dari dalam diri kita dan memang terbentuk dengan bagaimana positifnya orang mengapresiasi kita. Tetapi percayalah, tak akan ada yang mengapresiasi kita ketika kita bahkan tak sadar betapa berharganya diri kita. Sebisa mungkin saya selalu ingin mencintai diri sendiri. Setiap luka, setiap sedih, setiap sakit adalah proses pencapaian yang tak akan ada habisnya. Saya juga tak bicara inner beauty ketika ia sendiri diartikan dengan ‘inner-nya baju kamu’, tetapi saya bicara mengenai bagaimana kecantikan, seperti halnya keperawanan adalah konsep; tak lebih dari konsensus; dan dapat pula berupa opsi. Yang seperti apa? Itulah yang harus kita jawab, sesuai dengan diri kita sendiri.
            Beberapa waktu yang lalu saya sempat kesulitan menjadi diri sendiri. Saya masih sulit menjadi nyaman dengan pakaian yang ketika saya kenakan saya akan dipuji orang atau menjadi pusat perhatian. Saya masih mengikuti stream tertentu yang terkadang tidak nyaman bagi saya. Maka sekarang saya sedikit banyak sudah menemukan caranya. Yang pertama adalah dengan mempedulikan diri sendiri dan berhenti dengan mempedulikan omongan orang atas diri kita. Saya bisa saya berceloteh asal pada mbak-mbak yang lewat di depan rumah tanpa saya tahu betapa besar rintangan yang telah ia hadapi untuk menjadi dirinya sekarang.
            People know nothing.
            Dan kita punya semua yang kita butuhkan. Orang yang benar-benar baik akan menyampaikan dengan baik pula apa yang kurang baik pada diri kita. Tidak ada rasa tersinggung dalam diri saya ketika saya ditegur akan kesalahan yang telah saya perbuat. Lebih-lebih untuk hal yang bukanlah kesalahan. Tidak patut menerima begitu banyak dari orang kecuali kita juga sering ngata-ngatai orang ini-itu sehingga karma berbalik begitu cepatnya.
            Maka saya selalu ingin menghentikan rantai kebencian itu. Meluruskannya menjadi yang searah saja: orang bisa berpikiran A sampai X pada saya, saya bisa berpikiran Z tentang mereka. Tak ada yang melarang apa yang bisa dipikirkan orang. Kita hanya bisa mengontrol apa yang patut kita terima. Tidak lebih. Tidak patut lebih. Diri kita sudah demikian dangkalnya, terlebih dengan fakta bahwa otak manusia tidak bisa berkembang seperti aplikasi yang diupgrade, melainkan seperti hardware yang terbatas. Apabila muncul informasi baru, yang lama akan demikian terlupakan. Terlebih sangat sulit mencari sepercik informasi dari labirin pengetahuan di otak manusia. Kita pun akan butuh waktu mengaksesnya. Maka dengan keterbatasan penyimpanan atas penerimaan informasi yang tidak terbatas itu, kita harus bijaksana memilah kebaikan bagi diri kita dan membuang sisanya. Tak apa menyimpan sedikit kebusukan orang lain selama itu bermanfaat. Sebut saya pragmatis, tetapi saya tidak ingin merusak diri dengan menyimpan amarah saya dan residu otak orang lain yang jelas-jelas tidak ada faedahnya bagi saya.
            I might overthinking it, but at the end of the day I could smile and thank God that I’m alive. Tidak kekurangan seperti yang setiap hari di share di media sosial. Tidak berlebih sehingga semakin menimbulkan kebencian bagi orang lain. Andrea Hirata bilang bahwa seni tertinggi kesederhanaan adalah menertawakan kesialan. Maka inilah satu langkah saya menujunya. Menuju ketenteraman hidup dengan menjadi pragmatis mungkin menjadi gerbang saya untuk disebut oportunistik tetapi nyata adanya kita hidup untuk bermanfaat dan memanfaatkan.
            Maka ketika sekarang saya ditanya apakah saya cantik?
            Saya menjawab bahwa, “perempuan harus cantik. Dalam kamusnya sendiri. Ketika orang berpendapat lain, itu urusan mereka karena definisi konsep yang berbeda tidak lantas membuat orang bisa kurang ajar dan sah untuk menjadi brengsek. Terutama membrengseki kita. Kalaupun perempuan tidak cantik, bukan masalah besar karena kita dilahirkan tidak untuk cantik (saja), tetapi lebih dari itu. Maka manusia harus rakus menimba ilmu. Cantik atau tidak bukan menjadi jaminan; anak kita besok juga akan cantik seperti orang tuanya atau jelek seperti orang tuanya. Cantik atau tidak tidak akan membuat kemelaratan menjadi satu tingkat lebih enak dan membuat kekayaan menjadi hambar. Cantik atau tidak, bisa diusahakan. Kita hanya harus merasa cukup untuk menjadi cantik. Menjadi percaya diri karena merasa cukup. Menjadi cukup dengan mensyukuri apa yang kita miliki.”
            Apapun itu, we had to work our ass of. Karena kegampangan hanya membuat gamang.




NB: untuk K dan lelaki-lelaki lain yang saya sebutkan, atau tahu apa yang saya alami dan menjadi bagian darinya, I know you might not read this, tetapi percayalah bahwa saya berterima kasih. Kalian sudah memberikan kontribusi yang nyatanya masih saya ingat dibanding persamaan dan pertidaksamaan di matematika. Kalian sudah membuktikan bahwa kalian lebih penting dari itu. Bersyukurlah dengan itu. Kalau tidak karena kalian, saya tidak akan bisa menari seperti sekarang. Saya berharap bahwa tidak seorang pun dari perempuan yang kalian pedulikan dan kalian sayangi menerima perlakuan ini. Anyway, ‘banci’ bukan makian bagi saya karena menjadi banci atau transgender adalah takdir besar yang tidak pantas kalian lakukan. Sama seperti ejekan antar lelaki, “mainmu kayak perempuan’, dan lain sebagainya. Ya, berterima kasihlah pada Tuhan karena kalian tahu, kan, Tuhan tidak memberikan ujian yang lebih dari kemampuan hamba-Nya. Kalian tidak mampu menjadi transgender, dan dari belum lahir saja Tuhan sudah tahu bahwa kalian tidak mampu menjadi perempuan. Mungkin kalian memang mampu menjadi laki-laki sementara mereka yang ditakdirkan menjadi perempuan tidak, tetapi bukan berarti kalian merasa di atas dan bebas menjadi brengsek bagi makhluk lain. Simpan saja kebrengsekan itu ke tempat seharusnya. Di mana? Di otakmu.

Salam manis, dari perempuan yang kini ketika ketemu kamu godain dan becandain mati-matian bahkan dengan hal-hal mesum Cuma supaya kamu lihat senyumnya.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)