Hair Cut
Hi, there.
It’s been a while.. nggak nulis seperti ini. Padahal akhir-akhir ini
juga hidup saya nggak seabsen itu dari hal-hal yang menggelisahkan. Tetapi
mungkin justru karena banyaknya hal yang menggelisahkan itulah yang menjadikan
saya enggan menulis lebih lanjut. Terutama karena seperti yang telah saya
katakan sebelumnya, pengetahuan saya masih sangat tipis dan tidak menyeluruh.
Saya
kembali di blog ini dengan pikiran yang lebih segar dan ringan. Lebih dari
biasanya. Semester baru sudah di depan mata dan saya tahu masih akan ada banyak
kesulitan yang menghadang. Sejujurnya mungkin hal itulah yang membuat saya tak
lagi ambil pusing dan memangkas rambut saya. Lho, kok?
Sebelumnya,
seperti post-post tak penting
lainnya, saya akan sebisa mungkin menceritakan dari mana ini bermula dan bagaimana
ini berakhir di blog saya. Bagi Anda
yang membacanya sebagai sebuah kesan narsistik yang ingin saya tinggalkan,
tolong tanggalkan itu terlebih dahulu karena apa yang awalnya Anda baca
bukanlah menjadi tujuan utama saya.
Saya ingin mengatakan bahwa saya masih
perempuan yang menjadi gusar akan bagaimana dirinya terlihat di depan publik. Kali
ini terlepas dari sikap saya, saya pun masih khawatir dengan penampilan saya. Fisik
saya. Sejak mengenal kosakata dan makna kecantikan bertahun-tahun lalu, saya
merasa tak banyak berubah. Saya tumbuh dan berkembang layaknya perempuan
lainnya. Dari yang tidak mengenal, kemudian mulai mengenal, dan menjadi lihai
mematut diri.
Ibu
saya – tentunya tak pelak sebagai salah satu orang paling berpengaruh dalam
hidup saya – selalu mengatakan pada saya bahwa masa SMA adalah lebih baik bagi
saya untuk berambut pendek saja. “Nanti ketika kuliah baru dipanjangkan,”
begitu ujarnya selalu ketika saya menggerutu tentang rambut saya yang inilah
itulah. Saat itu penampilan saya tidaklah seperti sekarang. Bedak hanya kenal
satu merek, itupun belinya di apotek. Lipstick,
eyeliner, blush on, dan lain-lain adalah hal yang baru saya kenal ketika
saya menghadiri acara-acara tertentu. Hingga keikutsertaan saya di
ekstrakulikuler cheerleader memaksa
saya untuk sedikit-sedikit bisa dandan, terutama mendandani diri sendiri karena
rempong banget di ekstra itu ada 20-an perempuan dan seringkali tanpa teknisi make up. Maka sebelum-sebelumnya,
tradisi kecantikan bagi saya masih terletak pada bagaimana saya menjadikan
rambut saya cocok bagi saya dan enak dipandang, dengan kata lain sebagai
indakator utama kecantikan bagi saya.
Saya
lahir dengan rambut lurus, cukup tebal saya rasa. Berwarna hitam legam. Eksperimen
pertama dengan rambut dimulai ketika tante saya iseng mewarnai rambut keponakan
dan anaknya dengan cat rambut merah. Saat itu 2006, kalau tidak salah. Di mana
cat rambut masih merupakan funky yang
baru di kehidupan keluarga kami yang disiplin. Jadilah kami berambut merah
persis seperti seng karatan ke mana-mana. Lalu kelas 1 SMP, iseng-iseng saya
me-rebonding rambut saya supaya lurus.
Waktu itu saya diomeli ayah karena buat apa rebonding
rambut yang sudah selurus ijuk ini. Tetapi waktu itu masanya mode
ikut-ikutan. Ketika orang lain tampak bagus mengenakannya, tak ada salahnya
bila dicoba. Saya cukup puas dengan hasilnya walau saat ini kalau mengingatnya saya
masih pengin tertawa-tawa.
Rebonding membuat rambut saya tak hanya
lurus, tapi berefek jelek kemudian. Rontok yang cukup parah dan keadaan rambut
yang sudah tak lagi teratur membuat saya memangkas rambut saya
sependek-pendeknya hingga cepak. Mirip lelaki. Waktu itu enak banget. Tidak perlu
repot menghabiskan banyak shampoo dan
bisa keramas setiap hari. Hingga ketika saya masuk SMA, saya memutuskan tidak
menjaga potongan rambut ekstra pendek itu dan mulai memanjangkan rambut. SMA
adalah masa yang penuh kebaharuan yang menjanjikan dan tentunya, saya inginkan.
Dan tentu saja rambu tidak tumbuh secepat nge-charge
baterai ponsel. Ketika rambut saya sudah beberapa sentimeter di bawah
telinga, saya diolok-olok, disamakan dengan Dora the Explorer. Sebelumnya perlu
saya katakan bahwa, tanpa alasan yang jelas, semua siswi dan PNS beragama Islam
dari SMP hingga SMA dan sederajat wajib menggunakan seragam panjang dan
berkerudung di kota saya. Hal itu jugalah yang mendorong saya tidak banyak
mengeluh dan ambil pusing soal rambut karena, toh, juga jarang kelihatan.
Rambut pendek akan lebih nyaman dibanding rambut panjang yang tetap harus
dirawat seolah tidak berkerudung.
Saya
sempat tak ambil pusing dengan olokan itu. Penampilan saya waktu itu memang
tidak menarik sama sekali, mungkin. Tidak ada indah-indahnya. Dengan badan
setipis triplek, nyaris kurus kering, tinggi tidak seberapa, rambut yang tidak
menarik, wajah apalagi. Ditambah masih meremnya saya akan sense of fashion selain mengenakan apa saja pakaian yang tersedia
di lemari. Tak ada protes, sekian.
Harus
saya akui, hati terdalam saya merasa sedih waktu itu. Saya kini mengingatnya
sebagai romantisme masa-masa SMA yang terkadang ingin saya tertawakan. Ketika masih
tak ada yang digelisahkan selain mengapa kakak angkatan A jutek pada kita dan
bagaimana caranya tidak terlambat sekolah. Sementara teman-teman putri saya
yang lain mulai terlihat ‘aura’nya, saya masih begini-begini saja. Seperti anak
SMP kelas 1 yang diblesekkan secara
paksa di antara sekelompok gadis remaja yang sedang ranum-ranumnya. Tak menarik,
tak penting.
Bahkan
gara-gara penampilan saya itu, saya tak pernah dianggap sebagai anggota cheerleader, pada awalnya. Semua senior cheers, yang notabene perempuan, akan
seolah-olah melihat saya kemudian abai, dan semua lelaki yang mengetahui saya
anggota cheers akan mengernyit, tak
percaya. Tetapi percayalah, kesedihan saya waktu itu sangat bisa ditolerir. Begitu
jamak.
Hingga
ketika saya mulai naik ke kelas XII dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah,
saya mulai menghargai apa yang saya miliki daripada bersusah hati karena tak
mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya mulai banyak mengenal orang, hobi,
kesukaan, dan lain sebagainya. Menari, yang dulu saya jadikan determinasi
utama, menjadi tergeser. Hanya sebagai hobi di waktu senggang, itupun di kamar
sempit saya di rumah. Yang penting saya masih bisa senang, begitu pikir saya
waktu itu.
Masa
itulah Ibu saya juga menyadari perubahan anaknya. Dari yang dulu membelikan
tipikal pakaian-pakaian remaja awal yang kekanak-kanakan, ia mulai berhenti
membelikan saya setelan dan beralih pada pakaian-pakaian yang menurutnya cantik
apabila dikenakan. Saya menikmati perubahan lemari saya dari yang lucu, menjadi
cantik. Dan semuanya adalah andil Ibu. Saya masih tak bisa memilih, masih
terjebak dalam euforia di mana seseorang yang kelihatan baik mengenakan sesuatu
berarti baik pula pada diri sendiri.
Hingga
suatu ketika, saya merasa bahwa tak ada gunanya lagi saya berkembang. Saya berhenti
karena olokan kakak angkatan saya yang hingga saat ini masih begitu jelas saya
ingat. Demikian jelasnya hingga adegan per adegan itu seolah mimpi buruk yang
tak lagi menakutkan.
Hari
itu adalah persiapan sebuah perhelatan di sekolah kami. Saya sebagai panitia pun
datang dan melaksanakan tugas saya bersama teman-teman yang lain. Pekerjaan itu
berlangsung dari sore hingga malam. Tak lama saya sadar bahwa saya adalah
satu-satunya perempuan di aula itu. Sementara kami menghias backdrop yang akan dipasang di panggung.
Saya mengenakan tank top berwarna
putih dan melapisinya dengan bolero warna merah marun. Berbawahan celana jins. Tentu
saja sebagai satu-satunya perempuan di situ, saya mendengarkan banyak obrolan. Tentang
si A yang sedang pedekate dengan Y,
atau si X yang diomeli guru T karena kebanyakan berkegiatan di luar kelas,
bahkan tentang siapa yang rebutan pacar dengan siapa. Sebagai perempuan yang
tidak banyak kenal dengan teman-teman panitia lain, terutama laki-laki, saya pun
banyak diam. Meskipun tentu saja tidak luput dari pembicaraan mereka. Mungkin mereka
bosan, mungkin juga iseng. Para lelaki yang terdiri dari kakak angkatan dan
teman seangkatan saya itupun mulai membercandai saya. Saya merasa senang di
saat itu karena ternyata mereka memperhatikan saya. Selama ini saya tidak lagi
dianggap transparan, setidaknya di organisasi.
Ketika
suasana mulai mencair dan tawa-tawa mulai menjadi, tiba-tiba salah satu kakak
angkatan saya, sebut saja K, nyeletuk dengan nada biasa saja. Tetapi terasa
begitu menikam, dalam, dan baru saya sadari sekarang bahwa ucapan itu mengendap
demikian hebatnya karena rasa malu yang ditimbulkan. Rasa malu yang saya
rasakan.
K
berkata, “nggilani awakmu, Nes. Koyok
banci.”
Dan
saat itu saya terdiam. Mungkin muka saya semerah udang rebus dan saya dikenai
keinginan hebat untuk saat itu juga melempar lem ke mukanya, tapi saya hanya
mampu membeku sampai teman-teman lain pura-pura mengomeli kakak angkatan
tersebut. Tapi tak ada sesal yang terlihat. Tidak ada rasa sungkan. Seolah hal
biasa yang dilontarkannya, seolah saya tak ada. Untunglah tak berapa lama, saya
bisa pulang.
Sepanjang
jalan saya ingin menangis, tetapi saya menahan-nahannya sekuat tenaga. Sampai di
rumah, saya menyadari bahwa memang saya tidak seksi, tidak hot, tidak menarik, tidak cantik, tidak berbakat, bahkan tidak
masuk hitungan bagi lelaki brengsek sekalipun. Saya ingat betul, nyatanya saat
itu saya tidak menangis. Saya malah memarahi diri sendiri mengapa wajah saya
seperti ini. Mengapa rambut saya seperti ini. Mengapa badan saya seperti ini. Mengapa
saya tak bisa berusaha lebih keras.
Ketika
potongan rambut saya masih cepak, teman-teman sekelas saya di SMA masih suka
membuka-buka facebook saya hanya
untuk menggoda dengan memuji betapa tampannya saya dengan rambut seperti itu. Bahkan
teman-teman lelaki ikut-ikutan menggoda dengan bergumam betapa irinya mereka
dengan ‘ketampanan’ saya. Saya tak pernah ambil pusing, kecuali terkadang saya
masih mendengarkan godaan itu hingga sekarang. Saya juga tak ambil pusing
ketika saya sedang ada urusan di kelas sebelah, kemudian saya iseng buka
komputer di depan kelas. Saya menemukan foto pendakian pertama saya di Lemongan
dan melihat bagaimana anak-anak sekelas itu mencorat-coret muka saya dengan
aplikasi paint melalui layar
proyektor kelasnya. Saya juga biasa saja ketika kakak angkatan saya dengan
enteng menyebutkan nama-nama teman seangkatan saya yang cocok untuk digebet dan
berpenampilan menarik, tanpa melirik saya sama sekali meskipun saya ada di situ
dan ia tahu itu.
Untuk
pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasa bahwa kecantikan tidaklah
penting, terutama karena saya tidak memilikinya, dan saya menari habis-habisan.
Masa-masa
berikutnya terasa cepat. Lebih karena tak ada hal yang mencolok seperti
sebelumnya. Saya melakukan smoothing agar
rambut saya tidak lagi ekstra pendek seperti Dora the Explorer dan menyibukkan
diri dengan hal-hal lain. Lambat laun, saya mulai mendapat panggung. Baik untuk
menyanyi, menari, ataupun berakting. Dengan ketiga-tiganya, saya berperan dalam
pensi sebagai ajang akbar sekolah. Terutama karena waktu itu adalah untuk
pertama kalinya pensi yang sebelumnya berisi penampilan-penampilan kesenian
hingga bintang tamu yang disebut satu per satu oleh MC menjadi sebuah rangkaian
cerita sehingga semua penampilan disesuaikan dengan cerita dan mengisi alur
cerita.
Saya
yang juga mulai aktif di cheerleader
juga sempat mendapatkan cemoohan tak tahu diri yang dilayangkan oleh kakak
angkatan saya lainnya. Ketika suatu kali saya dan teman-teman tampil di acara
pembukaan sebuah acara sekolah, usai tampil kami berteduh sambil foto-foto di
taman sekolah. Tiba-tiba beberapa kakak angkatan lelaki yang lebih tepat saya
sebut alumni datang dan meminta saya untuk mengenalkan mereka dengan
teman-teman cheers saya. Setelah saya
kenalkan, mereka berseloroh, “Nes, mbok
sumpel, ta?” dengan merujuk pada bagian dada saya. Tetapi ini masa yang
berbeda dari sebelumnya. Masa ini saya sudah mengenal sederet makian dan bisa
menggunakan seisi kebun binatang sebagai makian pula. Maka tak lama saya sudah
melontarkan kata-kata yang apabila saya tuliskan di sini akan sebegininya
membuat menteri pendidikan periode itu dievaluasi ulang atas sistem dan metode
pengajaran, hingga mereka hanya bisa tersipu memerah, malu dibentak perempuan –
anak cheers pula.
Namun
sejak saat itu, saya bisa memperlakukan K secara transparan. Tidak untuk balas
dendam, tetapi melupakan apa yang ia katakan karena setelah melihat saya
setelahnya, saya yakin ia bahkan tak ingat pernah melontarkan hinaan itu pada
saya dan memandang saya sebagai satu dari yang tak mungkin mau melihat dirinya
sebagai orang yang menarik. Yang tampak dari matanya begitu berbeda seolah saya
adalah perempuan yang baru dikenalnya, bukan gadis transparan berbadan tepos
yang dulu dikatainya sebagai banci.
Kini
setelah tiga tahun kuliah, saya memanjangkan rambut sebagai pembalasan dari
yang dulu selalu ke salon tiap enam bulan sekali untuk memotong rambut dengan
berbagai mode. Kini ke salon hanya untuk mengeriting, creambath, coloring, atau
paling tidak merapikan sedikit untuk kembali merasakan enaknya dikeramasin. Dan
tentu karena begitu besarnya pengaruh rambut bagi saya – hingga saat ini –
perjalanan ke salon selalu lebih lama dari dugaan. Salonnya, sih, dekat. Mikirnya
yang lama. Bisa sebulan ada kepikiran untuk ke salon tetapi tidak juga
berangkat hingga urung, bahkan bisa berhari-hari kepingin banget dan kemudian
sirna di suatu hari lain. Maka ketika kemarin saya merasakan kebosanan yang tak
masuk akal dengan rambut panjang saya (fyi,
sangat sedih merasakan ketika rambut panjang begitu cepat bertambah panjang dan
rambut pendek begitu lama bertambah panjang), padahal saya baru dari salon
bulan lalu untuk memperbaiki potongan dan mewarnai rambut, tak ambil pusing
saya berkendara ke salon langganan dan memangkasnya hingga sebawah leher.
Eat this.
Mbak-mbaknya
sampai melongo ketika saya menunjukkan seperti apa potongan yang saya inginkan
tetapi seperti layaknya orang yang menjual jasa, ia cepat menguasai diri dan
berkomentar pesimis, “nggak sayang Mbak, dipotong sependek itu?” dengan
tambahan sederet pujian yang seolah bisa membuat saya melepaskan gunting dari
tangannya.
Saya
menegaskan, “nggak apa-apa, Mbak. Potong aja.”
Dan
saya pulang dengan hati yang jauh lebih ringan.
Tujuan
saya memanjangkan rambut selama ini adalah untuk mengikuti sebuah acara yang
sayangnya tak bisa saya ikuti karena dua tahun lalu saya kecelakaan. Sehingga
orang tua saya sempat merasa bahwa keinginan saya untuk menghilangkan rambut
panjang itu adalah sebuah efek berkepanjangan dari jatuh ke jurang. Saya menurut
untuk menghilangkan kekhawatiran itu dari orang tua saya.
Kini
ketika saya berambut pendek, saya mendapatkan respon yang begitu berbeda dengan
dahulu. Jangankan mengatai saya, beberapa orang terdekat memberikan masukan
yang membuat saya ingin memeluk mereka. Saya sama sekali tak berharap akan
mendapatkan pujian setinggi langit, percuma juga ketika kita tidak tahu mana
yang benar dan tidak. Tetapi melihat bagaimana orang-orang yang saya pedulikan
bersikap atas perubahan saya membuat saya sedikit banyak menghangat dan
berjanji akan lebih peduli bagi mereka pula.
Saya
merasakan banyak perbedaan. Beberapa tahun lalu, rambut panjang seolah menjadi
tolak ukur utama sehingga membuat banyak perempuan berlomba dan banyak lelaki
berlomba pula. Kini kita mengenal berbagai macam definisi kecantikan. Dari yang
lumrah hingga yang tidak masuk akal. Begitu pula cara meraihnya. Sulam alis, filler bibir, contouring, dan lain sebagainya adalah hal yang bisa sehari-hari
dilakukan perempuan untuk memuaskan hasratnya akan kecantikan. Walau tak sampai
ke sana, saya pun mengakuinya. Kepercayaan diri seringkali dipahami sebagai
sesuatu yang gained dari orang lain. Sejak
beberapa waktu belakangan, saya memahaminya sebagai personal yang harus saya
kenakan ketika saya melangkah dari kamar saya. Zona nyaman saya dalam
kesendirian.
Kepercayaan
diri itu muncul dari dalam diri kita dan memang terbentuk dengan bagaimana
positifnya orang mengapresiasi kita. Tetapi percayalah, tak akan ada yang
mengapresiasi kita ketika kita bahkan tak sadar betapa berharganya diri kita. Sebisa
mungkin saya selalu ingin mencintai diri sendiri. Setiap luka, setiap sedih,
setiap sakit adalah proses pencapaian yang tak akan ada habisnya. Saya juga tak
bicara inner beauty ketika ia sendiri
diartikan dengan ‘inner-nya baju kamu’,
tetapi saya bicara mengenai bagaimana kecantikan, seperti halnya keperawanan
adalah konsep; tak lebih dari konsensus; dan dapat pula berupa opsi. Yang seperti apa? Itulah yang harus kita
jawab, sesuai dengan diri kita sendiri.
Beberapa
waktu yang lalu saya sempat kesulitan menjadi diri sendiri. Saya masih sulit
menjadi nyaman dengan pakaian yang ketika saya kenakan saya akan dipuji orang
atau menjadi pusat perhatian. Saya masih mengikuti stream tertentu yang terkadang tidak nyaman bagi saya. Maka sekarang
saya sedikit banyak sudah menemukan caranya. Yang pertama adalah dengan
mempedulikan diri sendiri dan berhenti dengan mempedulikan omongan orang atas
diri kita. Saya bisa saya berceloteh asal pada mbak-mbak yang lewat di depan
rumah tanpa saya tahu betapa besar rintangan yang telah ia hadapi untuk menjadi
dirinya sekarang.
People know nothing.
Dan
kita punya semua yang kita butuhkan. Orang yang benar-benar baik akan
menyampaikan dengan baik pula apa yang kurang baik pada diri kita. Tidak ada
rasa tersinggung dalam diri saya ketika saya ditegur akan kesalahan yang telah
saya perbuat. Lebih-lebih untuk hal yang bukanlah kesalahan. Tidak patut
menerima begitu banyak dari orang kecuali kita juga sering ngata-ngatai orang
ini-itu sehingga karma berbalik begitu cepatnya.
Maka
saya selalu ingin menghentikan rantai kebencian itu. Meluruskannya menjadi yang
searah saja: orang bisa berpikiran A sampai X pada saya, saya bisa berpikiran Z
tentang mereka. Tak ada yang melarang apa yang bisa dipikirkan orang. Kita hanya
bisa mengontrol apa yang patut kita terima. Tidak lebih. Tidak patut lebih. Diri
kita sudah demikian dangkalnya, terlebih dengan fakta bahwa otak manusia tidak
bisa berkembang seperti aplikasi yang diupgrade,
melainkan seperti hardware yang
terbatas. Apabila muncul informasi baru, yang lama akan demikian terlupakan. Terlebih
sangat sulit mencari sepercik informasi dari labirin pengetahuan di otak
manusia. Kita pun akan butuh waktu mengaksesnya. Maka dengan keterbatasan
penyimpanan atas penerimaan informasi yang tidak terbatas itu, kita harus
bijaksana memilah kebaikan bagi diri kita dan membuang sisanya. Tak apa
menyimpan sedikit kebusukan orang lain selama itu bermanfaat. Sebut saya
pragmatis, tetapi saya tidak ingin merusak diri dengan menyimpan amarah saya
dan residu otak orang lain yang jelas-jelas tidak ada faedahnya bagi saya.
I might overthinking it, but at the end of
the day I could smile and thank God that I’m alive. Tidak kekurangan
seperti yang setiap hari di share di
media sosial. Tidak berlebih sehingga semakin menimbulkan kebencian bagi orang
lain. Andrea Hirata bilang bahwa seni tertinggi kesederhanaan adalah
menertawakan kesialan. Maka inilah satu langkah saya menujunya. Menuju
ketenteraman hidup dengan menjadi pragmatis mungkin menjadi gerbang saya untuk
disebut oportunistik tetapi nyata adanya kita hidup untuk bermanfaat dan
memanfaatkan.
Maka
ketika sekarang saya ditanya apakah saya cantik?
Saya
menjawab bahwa, “perempuan harus cantik. Dalam kamusnya sendiri. Ketika orang
berpendapat lain, itu urusan mereka karena definisi konsep yang berbeda tidak
lantas membuat orang bisa kurang ajar dan sah untuk menjadi brengsek. Terutama membrengseki
kita. Kalaupun perempuan tidak cantik, bukan masalah besar karena kita
dilahirkan tidak untuk cantik (saja), tetapi lebih dari itu. Maka manusia harus
rakus menimba ilmu. Cantik atau tidak bukan menjadi jaminan; anak kita besok
juga akan cantik seperti orang tuanya atau jelek seperti orang tuanya. Cantik
atau tidak tidak akan membuat kemelaratan menjadi satu tingkat lebih enak dan
membuat kekayaan menjadi hambar. Cantik atau tidak, bisa diusahakan. Kita hanya
harus merasa cukup untuk menjadi cantik. Menjadi percaya diri karena merasa
cukup. Menjadi cukup dengan mensyukuri apa yang kita miliki.”
Apapun
itu, we had to work our ass of. Karena
kegampangan hanya membuat gamang.
NB: untuk K dan
lelaki-lelaki lain yang saya sebutkan, atau tahu apa yang saya alami dan
menjadi bagian darinya, I know you might
not read this, tetapi percayalah bahwa saya berterima kasih. Kalian sudah
memberikan kontribusi yang nyatanya masih saya ingat dibanding persamaan dan
pertidaksamaan di matematika. Kalian sudah membuktikan bahwa kalian lebih
penting dari itu. Bersyukurlah dengan itu. Kalau tidak karena kalian, saya
tidak akan bisa menari seperti sekarang. Saya berharap bahwa tidak seorang pun
dari perempuan yang kalian pedulikan dan kalian sayangi menerima perlakuan ini.
Anyway, ‘banci’ bukan makian bagi
saya karena menjadi banci atau transgender adalah takdir besar yang tidak
pantas kalian lakukan. Sama seperti ejekan antar lelaki, “mainmu kayak
perempuan’, dan lain sebagainya. Ya, berterima kasihlah pada Tuhan karena
kalian tahu, kan, Tuhan tidak memberikan ujian yang lebih dari kemampuan
hamba-Nya. Kalian tidak mampu menjadi transgender, dan dari belum lahir saja Tuhan
sudah tahu bahwa kalian tidak mampu menjadi perempuan. Mungkin kalian memang
mampu menjadi laki-laki sementara mereka yang ditakdirkan menjadi perempuan
tidak, tetapi bukan berarti kalian merasa di atas dan bebas menjadi brengsek
bagi makhluk lain. Simpan saja kebrengsekan itu ke tempat seharusnya. Di mana? Di
otakmu.
Salam manis, dari
perempuan yang kini ketika ketemu kamu godain dan becandain mati-matian bahkan dengan
hal-hal mesum Cuma supaya kamu lihat senyumnya.
Comments
Post a Comment