Posts

Intens

  Sudah sangat lama sejak saya terakhir kali menulis di atas kereta. Terakhir, saya ingat perjalanan yang juga sempat sedikit saya bagikan di sini. Saya sedang menonton sesuatu di laptop sembari duduk di kelas bisnis yang lengang. Saya ingat betul karena saya hampir tidak pernah naik kereta kelas bisnis. Pengalaman yang menenangkan itu begitu membekas di kepala saya karena saya bisa melakukan banyak hal dalam perjalanan hampir seharian itu. Begitu berbeda dari pengalaman menaiki kereta ekonomi biasanya, tempat saya duduk bertemu lutut dengan empat hingga enam orang lainnya. Sejujurnya, tulisan ini mungkin tak lain juga adalah upaya membunuh waktu. Perjalanan panjang ini akan berlangsung cukup lama, bahkan hingga hari berganti. Dan meski saya sudah mempersiapkan diri, tentu akan ada banyak waktu kosong untuk diisi. Terutama karena saya berencana untuk tidur normal. Jadi saat senja ini mulai menggelincir seiring dengan jalannya kereta menuju ibu kota Jawa Timur, saya memutuskan...

Mengapa ke Đà Nẵng

Dahulu kala, sebagaimana kita selalu mendengar bagaimana cerita dituturkan, saya berada di kelas akhir masa SMA saya yang begitu berharga. Bagi siswa yang tinggal di salah satu kota kecil di Indonesia ini, buku menjadi salah satu sarana eskapisme yang bisa saya jangkau. Kegemaran ini salah satunya dipupuk karena buku-buku cerita anak. Beranjak remaja, bacaan saya pun beralih. Teenlit , komik cantik, dan metropop, adalah beberapa bacaan baru yang selalu menyenangkan bagi saya masa itu. Sebab tidak semuanya saya temukan di kota kecil tempat saya tinggal. Ada dunia berbeda yang ditawarkan dan saya tak perlu berpikir dua kali untuk terjun di dalamnya. Semuanya begitu mudah, terbayangkan, dan terjangkau. Dan sebagaimana remaja pada umumnya, saya jatuh hati pada banyak hal. Membenci banyak hal adalah hal lain, tetapi saat jatuh hati pada banyak hal, saya jadi punya beragam fokus yang menggembirakan. Saya sedang bermain teater, berkelompok dengan tim pencinta alam, menulis, menari, dan sete...

Stolen Dreams

Usually, I never let the “negative feelings” flew through me then vent it here like a thirsty kid. Years after years, I learn to sharpen my gut and showcase what it could be when I’m a normal human being. Believe what I want to be true.   Pada hari-hari seperti ini, mimpi-mimpi terasa mengapung di udara tempat saya menarik napas dalam usai mengerjai tubuh saya dengan hukuman yang saya rasa pantas saya dapatkan. Setiap hari. Betapa kejamnya melihat segelintir hal yang tidak akan pernah terwujud saat kita membuka mata. Saya selalu berharap bisa mengatakannya. Namun tak pelak saya katakan bahwa di hari-hari seperti, saya mengizinkan diri saya untuk “merasa” dan menjadi orang yang tidak pernah ingin saya temui. Saya merasa bersalah karena menulis di saat-saat seperti ini.  Deep down, I still believe how ugly human souls are. Scarred and barred. Too many happy memories, yet memories scurries away.   Ada begitu banyak bentuk dan rupa yang saya temui, dan selalu belum ...

Sampai Kapan Saya Melakukan Ini?

Pagi ini, saya ditanya, “Apa tidak capai?” Konteksnya, beberapa waktu belakangan saya gemar mengunggah aktivitas saya saat berkegiatan di alam. Meski hanya bisa pergi di akhir pekan, tapi tak jarang saya mengunggahnya di waktu-waktu luang saat hari kerja. Tanpa tujuan tertentu, mengingat saya kurang suka berondongan mengunggah sesuatu di media sosial dan terkadang saya amat kangen dengan perjalanan itu, terutama saat saya merasa sedikit suntuk karena terkungkung pekerjaan. Lalu di tengah-tengah kota yang hiruk-pikuk, seorang sahabat saya bertanya bagaimana caranya saya bisa punya tenaga untuk semua kegiatan itu. Selain bekerja, saya tidak hanya mendaki, tapi juga lari dan masih nongkrong dengan teman-teman. Wajar jika orang mungkin bertanya apakah saya tidak merasa lelah. Terutama karena saya sendiri sering bilang bahwa saya bukan tipikal orang yang gemar menghabiskan waktu di luar ruangan. Bukankah tidak mungkin saya betah menghabiskan tiap akhir pekan bertualang jika saya tidak s...

Under The Water

I was so overwhelmed and worried all day long. Its like having good time, then everything crumble. " Why I did that? Should I do that instead? " —the uncertainty and burden that I put to myself is real. Then the Dreamies are releasing new songs, and next thing I know I'm holding myself in order not to cry while listening " Life Is Still Going On " because I can't imagine myself anywhere near the future. The Dreamies did a lot of things to be like what they are now but I'm sad I can't do the same. Maybe in the end, we need other people to reach the bright final line of life so we could be happy. I allowed myself to cry not because its valid. But because I thought it was okay to give myself some slack. I know I'm lacking so much and yet I'm still in the same place. I read more books, more thing, things . But I wake up everyday feeling exactly the same like the day before. I was so exhausted and yearning for a little escape. Yet I couldn't b...

the idea of sharing

Life is weirder when you don’t have friends. Its like an epiphany of language. Once I flick the button, I came to lights. Where I left barely exposed. Barely naked. Bare. Yet no one seems to grasp the idea of being a living thing. We share the same sentiment, the (purposedly) same sense, yet we set off from the different kind of foreground that kinda destructing us to the way we wanted it to be. Life sure is weirder when you have a consideration. The living consciousness that wait to be relieved.   Saya membaca tentang sub-bab subjektivitas sebelumnya. Tentang ‘sesuatu’ dalam diri kita yang belum dijamah, atau sudah dijelajahi tapi tak bernama. Daripada itu, seperti yang sudah dipelajari sebelumnya, pada dasarnya manusia belajar tentang manusia dan alangkah ceroboh serta kaburnya kita saat mencoba merangkai kesemua pemahaman itu dalam sebuah landasan epistemologis. Manusia (memang) makhluk yang aneh. Seperti hal itu, memiliki kesamaan atau perbedaan yang dapat ditolerir seben...

Setidaknya Hal-Hal yang Perlu Dibersamai

Tahun ini sudah akan berakhir dan saya kembali merindukan masa-masa yang saya kira lebih baik (dan selalu demikian). Begitu banyak hal terjadi dalam setahun, sehingga saya benar-benar merasa dua tahun sudah lebih dari cukup untuk membiarkan saya menganggur tanpa kejelasan. Namun tahun ini, setelah hampir sepuluh bulan terkungkung pandemi dan membatasi banyak (serta memberikan peluang pada hal lainnya), rupanya saya tak pernah cukup menganggur. Saya kuliah lagi. Belajar lagi (belajar terus). Saya mulai membaca dan menulis. Baik fiksi maupun nonfiksi. Saya menerbitkan antologi puisi saya tahun ini dengan rasa haru luar biasa (tanpa launching , seperti buku pertama saya; bahkan tanpa banyak-banyak bersuara, saya kira). Setidaknya saya sudah memenuhi keinginan saya untuk menulis untuk diri saya sendiri. Untuk saya yang ingin mencintai diri saya sendiri. Untuk saya yang menyukai diri saya sendiri. Buku saya, tentu saja, tak banyak yang tahu karena, tentu saja, siapa saya. Saya mungkin...