Bagaimanakah Seharusnya

Akhirnya.
Malam ini saya bisa santai. Duduk di depan laptop, dan mulai menulis (yang tidak penting) lagi. Mungkin itulah keahlian saya, tanpa bisa membuatnya jadi penting. Hanya sedikit berarti bagi dunia saya yang semakin lama semakin sempit dan luas di saat yang bersamaan. Aneh.
Tidak ada jadwal latihan yang super-ketat, plus catatan tambahan untuk selalu menjaga kesehatan dan performa. Pentas yang dinanti-nanti sekian lama telah berakhir. Berganti dengan senyum dan haru di hari pementasan semua pemeran dan kru. Sejujurnya say tak tahu, apakah yang menyebabkan saya bisa terlibat dalam pementasan tersebut. Mungkin saking santainya saya. Hingga kini saya merasa tak punya banyak waktu untuk santai lagi. Namun begitulah, proses tiga bulan itu berhenti begitu saja dalam malam puncak yang menjadi eksekutor seluruh rangkaian proses panjang dan melelahkan kami.
Mungkin kesibukan itu pulalah yang bisa membuat saya bertahan tanpa menulis ngalor-ngidul begini. Walau tiap malam saya harus begadang mengerjakan tugas-tugas yang juga semakin ketat, tak banyak yang tersisa dari energi saya yang biasanya tinggal 5 watt itu. Cukup untuk mandi (motivasi agar tidur lebih nyenyak, sekarang tidak lagi mandi malam!) dan kemudian tidur. Dunia saya saat itu menjadi begitu monoton dan beragam pula di saat yang bersamaan.
Waktu-waktu latihan yang melelahkan dan terkadang menyakitkan bagi saya seolah menjadi penyembuh alami dari Tuhan atas luka yang baru saja saya buat sendiri. Bodoh. Tetapi saya percaya kategori bodoh akan berkembang ketika luka yang saya buat itu tidak menghasilkan apa-apa pada saya. Rasa sakit itu terkadang perlu kita rasakan sendiri. Dan itulah yang telah saya buat. Membuat, menikmati, dan mengalahkannya sendiri, mungkin. Saya harus bisa membebaskan diri saya sendiri dari apa yang tidak saya sukai. Memberikan diris aya kendali atas hal-hal yang selama ini terasa membelenggu saya.
Segala keramaian latihan dan sepinya pikiran saya terkadang membuat saya tak berharap banyak pada hari-hari ke depan dan terus menjalani waktu-waktu tanpa ingin berusaha lebih keras. Mungkin inilah teguran dari Tuhan atas segala waktu luang yang tidak saya manfaatkan, dan waktu-waktu padat yang tidak saya maksimalkan. Ah, apalah artinya.
Saya belajar banyak, mungkin. Bahwa selama dua bulan ini Tuhan memberikan saya waktu untuk menghargai sebuah kesempatan. Tak ada yang lebih berharga dari sebuah kesempatan. Ketika saya telah mengacaukan sesuatu tanpa saya sadari, mungkin saya bukannya menyesali biaya dan usaha yang telah saya keluarkan, tetapi menyesali kesempatan yang telah pergi begitu saja dari tangan saya tanpa mampu saya keraskan lagi usahanya. Inilah pertanda bahwa saya harus total.
Ingat tentang kata total, saya jadi mengingat kembali memori awal-awal masuk kuliah. Di mana semua mahasiswa baru wajib mendapatkan pelatihan softskill yang berfungsi untuk mengasah kemampuan-kemampuan ‘lunak’ mahasiswa. Semisal pegangan masa kuliah, menghormati lingkungan, memanage keuangan, dan lain sebagainya. Ketika saya masih jadi mahasiswa baru, pelatihan tersebut wajib diikuti setiap akhir minggu. Hari Sabtu yang awalnya kosong melompong jadi terisi dengan pelatihan yang orang-orangnya disesuaikan dengan ospek universitas.
Sejujurnya saya tak begitu suka trainingi-training yang bagi saya buang-buang waktu itu. Mengikuti training bagi saya seperti membaca chicken soup. Bermanfaat, memang. Tetapi tidak mengasyikkan dan tidak menyenangkan. Terkadang saya harus berhenti menjadikan diris aya melihat sesuatu dari segala ironinya, ya. Namun yang membuatnya berbeda adalah suatu kali di waktu pelatihan, pemateri adalah ex-kandidat mahasiswa berprestasi UGM 2009 yang berasal dari Fakultas Psikologi. Saya lupa orangnya, apalagi namanya. Tetapi kata-kata dan sarannya yang berhasil merasuk dalam sanubari saya waktu itu, dan sempat menjadi pegangan saya selama beberapa waktu (setidaknya yang saya ingat).
Pemateri itu berkata bahwa dalam melakukan sesuatu kita harus total. Apapun tujuannya (waktu itu dalam rangka mengejar keberhasilan di berbagai aspek). Kalau ingin dugem, ya dugem. Nggak usah mikirin tugas. Waktunya have fun ya diisi dengan having fun. Setelah having funnya selesai, maka silakan lanjut nugas. Saat nugas, jangan yang dipikir have fun. Intinya jangan jadi orang insecure. Kalau melakukan sesuatu dengan setengah-setengah, pasti takkan berakhir baik. Itu yang saya pahami pula beberapa waktu belakangan. Saat hendak melakukan sesuatu yang diisi dengan keraguan, saya memilih tidak melakukannya. Apapun yang ragu-ragu bisa menimbulkan penyesalan nantinya.
Entah mengapa nasihat pemateri itu membuat saya tersadar. Selama ini ketika saya tidak bisa menikmati waktu-waktu tertentu dalam hidup saya adalah karena saya tidak benar-benar menikmati waktu-waktu tersebut. Ketika lagi main ingat tugas, ketika lagi nugas ingat main. Kan, percuma. Waktu itu saya sempat nekat ikuti saran pemateri tersebut. Ketika tiba waktu kuliah saya kuliah dengan tekun. Tidak pakai headset dan menyetel lagu-lagu pengantar tidur atau pengantar melamun, tidak tidur, tidak membaca novel yang bukan materi kuliah, tidak main ponsel, dan lain sebagainya. Duduk paling depan untuk mendengarkan penjelasan dosen secara maksimal, juga menggagalkan rasa kantuk. Mencatat, saran dari guru ngaji saya (iya) dulu, bahwa selain mendengarkan dengan baik kita harus rajin mencatat. Karena waktu itu saya sadar saya bukan mahasiswa yang pintar dan jenius. Maka saya harus dengan baik memanage diri saya sendiri untuk mengarah ke pintar dan jenius. Dan ketika tiba waktunya bermain dan berkumpul bersama teman-teman, saya jalani sepenuh hati. Tidak pakai mengeluh karena tugas (waktu itu tugas saya mendekati nol), tidak memikirkan tugas yang menunggu di kos, dan juga kelas yang harus dihadiri esok pagi-pagi. Yang penting dijalani dengan total saja, begitu pikir saya waktu itu.
Prinsip itu mungkin sudah terlalu lama saya lupakan hingga kini saya harus mengingatnya lagi. Sayangnya, seusai pementasan.


Proses itu dapat menjelma menjadi apa saja.
Manis seperti gula ketika saya ikut proyek ketoprak Dies Natalis UGM sebagai proyek perdana saya di kampus. Sepah dan kesal ketika saya ikut dalam kepanitiaan di jurusan saya, mulai dari Festival Sastra hingga Bulan Bahasa. Namun seperti yang Zoe katakan dalam sebuah episode serial Lie To Me, bahwa setiap orang punya kecemasan dan keraguan, tapi bukan berarti hanya itu satu-satunya hal yang mereka rasakan. Hal ini mungkin berlaku sama dengan semua proses yang telah saya ikuti. Ya, segelintir proses yang telah saya ikuti. Terkadang dominan rasa enak atau rasa pahitnya, tapi semua saling berimbang di waktu-waktu tertentu dan menghasilkan kenangan yang baik juga.
Contohnya dalam proses pementasan saya yang terakhir.
Entah, saya merasa tiba-tiba tersedot dalam proses yang tidak saya pahami mengapa. Awalnya, latihan diisi dengan bongkar pasang pemeran, jadwal yang ngaret, dan tidak adanya kejelasan latihan. Saya tahu saya tidak pandai bergaul, karenanya saya lebih banyak diam dan mendengarkan guyonan teman-teman pementasan yang rata-rata saru itu.
Hingga suatu waktu, sebulan menjelang pementasan mungkin, kami yang selo dikumpulkan pelatih dan ia memberikan sebuah games.
Gamesnya sama seperti yang saya terima di makrab jurusan ketika saya jadi maba dulu. Tekniknya adalah membentuk lingkaran utuh, dan menulis nama kita di kertas kosong masing-masing. Kemudian kertas digilir berlawanan dengan jarum jam dan kita harus menuliskan kesan atau ekspresi apapun terhadap orang yang namanya tercantum di kertas yang kita pegang. Serunya? Adalah kita bebas menulis di bagian mana dan apa sehingga urutan orang takkan berpengaruh, dan sistemnya harus anonim.
Usai proses tersebut, kami pulang seperti biasa.
Di kos, saya baca ulang kertas yang berisi evaluasi atau kesan dari teman-teman terhadap diri saya. Sejujurnya, saya tak mengharapkan ada kesan positif karena saya jarang gaul dengan yang lain dan terkesan pendiam saat bersama mereka.
Benar saja, ada satu dua yang menyebutkan bahwa saya sempat dikira sombong dan sengaja pasif. Saya tak pernah merasa atau sadar kalau saya sombong, sih. Dan saya memang sengaja pasif karena saya tak bisa memulai percakapan dan menjalin keakraban. Saya selalu tidak percaya diri saat proses krusial itu berlangsung. Jadi saya cukup tahu nama-nama sebagian besar orang dan kembali diam di tempat saya. Tidak menggubris candaan maupun komentar yang memang tidak ditujukan pada saya. Jadi, nggak masalah, kan?
Terkadang saya merasa kalau saya sama sekali tidak peduli dengan orang sekitar saya. Tapi di satu waktu terkadang saya merasa terlalu perasa terhadap orang di sekitar saya. Meskipun bukan berarti semua itu benar, tidak juga salah. Sebab itu saya memilih netral. Tidak berani mendekati terlebih dahulu, tapi berusaha semaksimal mungkin hangat dan terbuka saat ada yang mengajak bicara.
Namun kegiatan buka-bukaan yang agak tersensor itu berlangsung ketika sudah separuh perjalanan dalam proses latihan kami. Jadi saya sudah mulai bisa mengobrol dengan banyak orang, walau tidak semua. Menanggapi candaan dan melontarkan komentar, juga tanpa malu turut tertawa ketika ada kejadian atau perkataan lucu meskipun tidak ditujukan pada saya. Mulai menyapa ketika berpapasan selain di luar latihan, dan saling keep up dengan grup sosial media yang menghimpun kami semua agar tetap terkontrol.
Komentar-komentar yang lain berisi pujian-pujian dan saran manis dari para kaum hawa di tim kami, dan selorohan dari para lelaki. Para lelaki itu, jujur saja, memang terkenal frontal terutama setelah tidak lagi memakai seragam SMA. Dengan tanpa ragu mereka menulis komentar seperti ‘binal’, ‘kurang memiliki potensi’, ‘frontal’, sampai ‘enak’.
Perasaan saya?
Biasa saja, sih.
Saya sudah terbiasa dan paham fakta bahwa disadari atau tidak, setiap manusia akan memberikan brand tersendiri untuk manusia lain. Tidak ada salahnya tidak menyukai atau bahkan membenci orang lain, tapi yang salah adalah caranya tidak menyukai atau membenci. Jadi komentar-komentar itu, walau saya tahu secara eksplisit, tetap tidak saya duga akan mampir di kertas yang kemungkinan akan jadi arsip saya seumur hidup.
Entah, ya. Terkadang saya berpikir bahwa apa yang ada di situ tidak benar. Tapi di sisi hati saya yang lain berusaha mencerna dengan logika saya bahwa terkadang pengamatan setiap orang pun berbeda. Maka dari itu, branding untuk kata ‘binal’ itu tak urung jadi pertanyaan saya.
Sebenarnya di KBBI (iya dong, saya ngecek) arti kata ‘binal’ adalah tidak menurut, susah diatur, dan bengal. Namun di kehidupan sekarang, kata ‘binal’ diasosiasikan dengan cap perempuan nakal dan frontal tentang alat vital.
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya sedikit banyak sadar bagaimana orang-orang (terutama teman-teman) memandang saya seperti apa dan bagaimana. Tidak sekali itu saya dicap demikian. Walaupun tidak sefrontal itu, tentu saja. Hal itu terbukti dengan teman-teman yang hampir selalu mengeluarkan guyonan saru-nya walau sayalah satu-satunya perempuan di tempat itu. Dan saya (mungkin di sini anehnya), selalu bisa tertawa. Cause I get it, of course. Ketika saya tidak memahaminya pun, saya tertawa dengan ekspresi teman saya yang selalu punya cara masing-masing dalam mengungkapkan sesuatu, terutama dalam hal sekhas guyonan. Saya pun juga sadar saya orang yang gampang tertawa. Dalam suasana senang atau rikuh, saya selalu tertawa untuk kesopanan dan menutupi kerikuhan yang terjadi. Saya juga sering balas melontarkan guyonan serupa dan disambut dengan lucu oleh teman-teman saya. Intinya, saya bisa, kok, saling menanggapi apa yang saya dan teman-teman saling lontarkan. Topik ini mungkin tak berbatas, hingga hal-hal seperti seks termasuk di dalamnya.
Dan, hei.. apakah kini seks sudah menjadi hal tabu? Wagu? Saya rasa tidak. Ketika Anda masih follow detikcom yang rubrik detikhealth-nya kadang nyeleneh. Atau follow akun instagram UGM Cantik, dan lain sebagainya. Walau Anda dapat berkilah bahwa keindahan dan seks adalah dua hal yang berbeda, tapi saya percaya keduanya dapat saling mengarah satu sama lain. Buktinya ada film bokep, atau karya seni yang mencerminkan seks dengan bebas. Dan banyak orang yang having sex sebelum married.
Hal serupa terjadi dalam proses latihan pementasan saya. Obrolan khas lelaki tentu saja tak jauh dari hal-hal saru yang terkadang dihadapi para kaum hawa dengan malu-malu; senyum simpul, geleng-geleng kepala, sibuk dengan gadget, pandangan nggak ngeh. Saya cuek saja tertawa dan malah balik menimpali, sehingga bisa saling melontarkan komentar.
Dan demi apapun, sebutlah saya dengan apa saja, but you can’t call people a bitch/slut/whore when she’s understands about sex’s things, thankyouverymuch.
Kita tidak bisa menyamaratakan dengan kejam seperti itu. Memanggil orang pecun, binal, ayam, dan lain sebagainya hanya karena dia berpakaian terbuka dan mengerti hal-hal seks. Mungkin saya adalah contohnya. Karena hal ini pun saya alami sendiri.
Dan ketika lelaki, para cowok, bisa ngobrol tentang seks seolah hal-hal yang biasa, mengapa di era di mana semua lelaki mendukung perempuan untuk belajar rajin agar bekerja dengan baik dan menjadi ibu dari anak-anak mereka dengan pantas ini perempuan masih dianggap negatif ketika bisa mengimbangi lelaki dalam pengetahuan tentang seks?
Ketika para lelaki bisa nafsu begitu saja melihat perempuan pakai tank top dan di belahan negeri ini ada seorang bapak yang memerkosa anak perempuannya sendiri, mengapa perempuan tak boleh menentukan pakaian yang nyaman mereka kenakan?
I don’t know.. saya memilih pakaian yang nyaman untuk latihan yang menguras fisik dan mental. Terutama karena jadwal latihan adalah seusai saya latihan dance, sehingga saya mau tak mau harus menyesuaikan pakaian. Berbeda dengan pakaian ketika saya tanding basket, kuliah, atau jalan dengan teman-teman. T-shirts berkerah lebar, baju berlengan pendek, baju tipis, celana pendek, celana legging, adalah pakaian yang normal buat saya untuk digunakan latihan dance dan teater sekaligus. Alasannya tentu saja sederhana, mudah dipakai bergerak, cepat menyerap keringat, melancarkan sirkulasi dalam pakaian, tidak gampang kotor, dan lain sebagainya. Dan, tentu saja, you can’t judge people by their outfits. Siapa bilang homo selalu pakai syal dan kaos ketat? Atau celana ketat dengan jaket keren? Siapa pula yang bilang cowok yang demikian itu lenjeh?
Saya pernah membaca sebuah kampanye di Twitter yang isinya the outfit may just be a matter of taste, not an expression of sexual orientation!
TRUE!
Makanya saya jadi tersinggung ketika ada yang mengatakan terkadang cara berpakaian saya terlalu vulgar, sehingga saya jadi binal. Biasanya, sih, saya ketawa saja dan malah balas menggoda. Sementara dalam hati: bodo amat! Bukan situ juga yang beliin bajunya. Vulgar adalah ketika datang ke acara wisuda universitas dengan bikini atau celana denim sobek-sobek dan atasan tank top, bukan ketika berpakaian ketat atau berkerah lebar dan longgar ketika latihan teater.
Dan mengenai guyonan berbau saru, saya pun menyadari saya bukan orang introver yang akan menutup diri selamanya. Akan ada masanya saya harus terpaksa membuka diri terlebih dahulu untuk membuka jalannya percakapan karena kepentingan tertentu. Pementasan contohnya. Walau saya bukan orang teater, dan nggak ngerti-ngerti amat tentang teater, saya paham kalau pementasan membutuhkan chemistry antar pemain. Entah chemistry positif ataupun negatif, tidak masalah. Tetap harus berjalan. Karenanya saya memutuskan untuk membuka diri, mengobrol dengan lebih banyak orang dan berusaha loose dalam berbicara.
Seperti yang juga sudah saya bilang di atas, bahwa obrolan antar lelaki itu tidak jauh dari selangkangan. Dan ketika saya harus membaur dengan mereka, masa’ iya saya akan berkata “aku nggak ngerti kalian ngobrol apa, nih. Ganti topik, dong” pada orang yang baru saya kenal padahal topiknya saya tahu. Ribet amat, langsung ketawa ini juga kelar, begitu pikir saya. Eh tidak menyangka mereka heran dan seringkali mengajak saya untuk bercanda saru gitu. Dan masa’ iya saya menolak? Ketika saya sadar membuat boundaries di sekeliling diri adalah hal tersulit kesekian?
Mungkin saya bisa pura-pura bego dan diem-diem aja. Tapi pementasan sudah dekat hari H dan saya bahkan tidak hafal nama pemain yang tidak datang dalam satu hari. Saya setidaknya harus bisa mengobrol walau terpaksa, dan menanggapi walau tidak lucu. Yang penting tidak wagu dan manja. Di satu sisi saya menolak kemanjaan perempuan yang berlebihan, tapi di sisi lain terkadang tanpa sadar melakukannya. Yang penting bagi saya adalah kesadaran kita akan posisi dan lingkungan kita. Sepintar apapun orang kalau tidak bisa beradaptasi dan dinamis dalam menghadapi lingkungannya, ia akan hilang. Tidak punya pegangan dan bahkan tidak dianggap. Tentu saya nggak mau, dong. Apalagi saya nggak pintar. Hm.
Walaupun mungkin tidak serius, hal-hal tertentu dapat melukai. Entah secara sadar atau tidak.
Seperti contoh komentar bahwa saya ‘kurang memiliki potensi’ atau bahkan ‘tidak berpotensi’.
Saya biasa saja mendapat komentar seperti itu. Dan malah jadi motivasi untuk eksistensi diri bahwa sebenarnya saya bisa, kok. Hanya nggak mau saja (sebuah permakluman, kali).
Namun perasaan saya tentu berbeda ketika membaca tulisan itu di kala kemarin saya sedang down akibat jadwal yang menumpuk, kelelahan yang tidak teratasi, kondisi fisik yang kurang prima, dan vokal yang tidak membaik. Dengan satu frase yang bagi saya waktu itu sangat tidak berperasaan, saya begitu mudahnya hancur. Menangis sendirian dan memaki diri saya sendiri yang tidak berguna. Meragukan orang lain seiring dengan keraguan saya akan diri sendiri. (Sejujurnya pula, saya tak pernah kehabisan alasan untuk memaki diri sendiri dan menangis karena diri sendiri). Saya telah mengakui sebelumnya bahwa saya bukanlah orang yang expert di satu bidang. Terutama kesenian. Saya hanya sekadar bisa. Bisa nari, bisa akting, bisa nyanyi, bisa main gitar. Bisa, aja. Bagus enggaknya saya juga enggak tahu, kan. Bagi saya, sih, bagus banget (am I such of a self proclamator?). Hanya saja.. terkadang saya tak paham cara orang lain menjatuhkan kita dengan cara tidak terduga. Entah disengaja atau tidak.
Sebenarnya.. bagi saya hal itu adalah tamparan keras yang biasa saja. Biasa karena sering saya dapatkan. Tapi tetap keras terasa di ulu hati.
Dulu, saya pernah disuruh keluar dari penampilan tim saya menjelang tampil. Padahal saya sudah hafal segala tetek bengek penampilan saya. Dan dikeluarkan begitu saja. Saya pernah menerima pandangan melecehkan dari orang-orang di sekitar saya. Pernah ditertawai teman-teman saya. Pernah dicap sebagai orang yang tidak berguna dan dibolak-balik perasaannya oleh orang lain.
Saya pernah dianggap tidak berbakat. Hal yang menyesakkan kala ingat betapa keras saya mencoba dan mencoba. Betapa sering saya berlatih dan berlatih. Berapa besar cinta saya pada bidang yang saya geluti.
Kelas satu SMA, saya ikut ekstrakulikuler cheerleaders dan selalu ditempatkan di belakang, out of nowhere, pokoknya. Ibarat tampil, saya nggak pernah kelihatan. Karena postur saya dulu begitu kecil dan kurus. Juga gerakan saya yang jelek dan dianggap tidak memiliki power. Masa-masa latihan cheers saya begitu keras. Saya dan teman-teman siswa baru lainnya digembleng habis-habisan oleh senior kami agar dianggap mampu menggantikan mereka kelak. Dan, tidak peduli betapa deras keringat saya mengalir hingga ke dalam pakaian saya, gerakan saya tak pernah membaik. Setiap ada event tertentu, saya adalah underdog yang tak pernah diajak tampil. Berada di bawah bayang-bayang rekan-rekan yang lebih dulu terpilih untuk bersinar.
Saat itu saya tidak dendam, hanya saya sadar bahwa saya nggak bagus. Ternyata semua ekspektasi saya gugur dan saya tidak lebih dari sosok yang nggak berguna. Tak ada pun tak apa. Di rumah, saya habiskan waktu dengan latihan sendiri. Tidak peduli berapa sering tersungkur karena mengikuti gerakan sulit. Berhenti karena terlalu lelah. Jenuh dengan lagu yang sama.
Berusaha menjadi baik dan layak bagi diri saya sendiri.
Barulah di kelas dua SMA, usaha saya membuahkan hasil. Perlahan orang-orang mulai mengakui saya. Tentu saja, hal terindahnya adalah saya tak pernah mengharapkannya. I didn’t see this coming. Dan tiba-tiba datang begitu saja.
Sejak itulah, saya baru bisa tampil di mana-mana. Baru bisa beredar semaunya. Mengisi acara ini itu, dan lain sebagainya.
Terkadang, saya berpikir. Orang tak pernah tahu usaha saya, tak akan ada yang kehilangan saya karena mereka tidak mengerti saya. Seberapa keras saya mencoba dan berusaha, yang saya dapatkan hanyalah ‘kurang memiliki potensi’. Yang nyatanya, tidak dipedulikan.
Ah. Saya lelah menulis sebegini banyak..


Hidup banyak mengajarkan saya hal-hal yang baru atau hal-hal lama yang menjadi baru dan segar kembali.
Terkadang di satu waktu saya bisa mentertawai hidup saya seperti sebuah satir dan ironi yang dilahirkan serupa. Tergantung dari mananya saja saya ingin melihatnya. Logika yang berkali-kali saya bolak-balik untuk menyadarkan saya bahwa saya menderita bukan untuk hal-hal kecil.
Saya tak boleh menderita karena hal-hal yang tidak berguna.
Karenanya, saya berguna untuk hal-hal yang dapat berbahagia.
Tidak peduli sejauh mana saya melanglang buana, setinggi apa saya naik gunung, di manapun saya kuliah, dan apa saja yang saya dapatkan, demi Tuhan, orang tua saya melahirkan saya agar saya berbahagia.
Saya tidak boleh berharap segalanya akan lebih baik, tapi saya yang harus lebih kuat dan lebih baik.
Segala kemelut dalam keluarga pun mengajarkan saya caranya hidup dan berkehidupan. Sehingga kini saya tak lagi memandang sesuatu dengan segala pesimisme hidup yang seringkali menghantui, menjegal saya di tempat-tempat yang tidak terkira. Kejutan itu mungkin selalu menyenangkan.
Baiklah, bagi saya, tulisan-tulisan dalam wadah evaluasi saya kemarin tidak bisa berefek seumur hidup saya, melainkan sebegini. Cukup 10 halaman saja.


Yogyakarta, 27 Mei 2015

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)