Sebuah Catatan Tentang Cinta yang Berani
Terkadang keberanian itu penting untuk mencintai.
Tidak untuk mengungkapkan.
Berani dalam mencintai, menyukai, dan menyayangi seseorang pun adalah sebuah hal yang sangat sulit dilakukan. Kebanyakan orang mungkin berpikir untuk apa mencintai, menyukai, dan menyayangi tanpa membiarkan orang yang kita cintai itu tahu. Tetapi di sisi lain, kita secara tidak sadar memberanikan diri dan mempersiapkan hati kita untuk dengan tulus mencintai seseorang tanpa berharap akan benar-benar bersama.
Ketika kita berani untuk mencintai, bukan berarti hidup akan selalu indah di akhir cerita. Namun rasa sakit adalah hal yang biasa. Meskipun mencintai tanpa pamrih bukan berarti sakit, dan terus-terusan menerima rasa sakit tanpa mampu berbuat apa-apa, sebagian diri saya percaya bahwa mencintai tanpa pamrih merupakan sebuah penghargaan bagi diri kita sendiri agar mampu menerima dan memberi rasa cinta pada siapapun.
Karena esensi mencintai tanpa pamrih adalah mencintai diri sendiri.
Bagaimana kita percaya bahwa setajam apapun kenyataan yang harus kita terima adalah terletak pada bagiamana kita bias mengendalikan dan membawa diri kita pada hal-hal yang seharusnya. Mencintai tanpa pamrih adalah mencintai tanpa membabi buta.
Dan butuh keberanian yang sangat besar agar bisa belajar, atau bahkan mencintai. Butuh usaha yang keras agar bisa memberanikan diri mencintai seseorang.
Dan mungkin akan meninggalkan diri kita sendiri dalam kekecewaan dan rasa sakit.
Hanya saja.. tidak peduli betapa besar cinta kita, kita akan berhenti menyalahkan orang lain. Tidak pula menyalahkan diri sendiri.
Mungkin akhir dari mencintai tanpa pamrih adalah menangis. Menangis entah karena apa dan mungkin pun tak ada gunanya. Tetapi ketulusan itu takkan pernah sendirian. Menangis yang tulus. Maka sembuh pun dengan tulus.
Bukankah begitu? Sebesar apapun rasa sakit, hal terpenting adalah apa yang didapat, apa yang tersisa, dan apa yang menyembuhkannya.
31 Mei 2015
Tidak untuk mengungkapkan.
Berani dalam mencintai, menyukai, dan menyayangi seseorang pun adalah sebuah hal yang sangat sulit dilakukan. Kebanyakan orang mungkin berpikir untuk apa mencintai, menyukai, dan menyayangi tanpa membiarkan orang yang kita cintai itu tahu. Tetapi di sisi lain, kita secara tidak sadar memberanikan diri dan mempersiapkan hati kita untuk dengan tulus mencintai seseorang tanpa berharap akan benar-benar bersama.
Ketika kita berani untuk mencintai, bukan berarti hidup akan selalu indah di akhir cerita. Namun rasa sakit adalah hal yang biasa. Meskipun mencintai tanpa pamrih bukan berarti sakit, dan terus-terusan menerima rasa sakit tanpa mampu berbuat apa-apa, sebagian diri saya percaya bahwa mencintai tanpa pamrih merupakan sebuah penghargaan bagi diri kita sendiri agar mampu menerima dan memberi rasa cinta pada siapapun.
Karena esensi mencintai tanpa pamrih adalah mencintai diri sendiri.
Bagaimana kita percaya bahwa setajam apapun kenyataan yang harus kita terima adalah terletak pada bagiamana kita bias mengendalikan dan membawa diri kita pada hal-hal yang seharusnya. Mencintai tanpa pamrih adalah mencintai tanpa membabi buta.
Dan butuh keberanian yang sangat besar agar bisa belajar, atau bahkan mencintai. Butuh usaha yang keras agar bisa memberanikan diri mencintai seseorang.
Dan mungkin akan meninggalkan diri kita sendiri dalam kekecewaan dan rasa sakit.
Hanya saja.. tidak peduli betapa besar cinta kita, kita akan berhenti menyalahkan orang lain. Tidak pula menyalahkan diri sendiri.
Mungkin akhir dari mencintai tanpa pamrih adalah menangis. Menangis entah karena apa dan mungkin pun tak ada gunanya. Tetapi ketulusan itu takkan pernah sendirian. Menangis yang tulus. Maka sembuh pun dengan tulus.
Bukankah begitu? Sebesar apapun rasa sakit, hal terpenting adalah apa yang didapat, apa yang tersisa, dan apa yang menyembuhkannya.
31 Mei 2015
Comments
Post a Comment