Sebuah Keharuan yang Semestinya

Televisi di kamar saya (masih) menayangkan berita eksekusi mati sejumlah narapidana yang dihukum karena kasus narkoba. Sejujurnya, belakangan ini berita itu sedang banyak menghiasi layar kaca. Mungkin karena pilihan chanel televisi saya yang terbatas. Tak apa.
Malam ini saya lelah sekali. Tidak ada tenaga untuk ngapa-ngapain. Sudah sejam yang lalu saya merasa perut saya keroncongan, tapi bukannya menyambar jaket dan pergi ke burjo dekat kosan, saya malah meraih buku Dahlan Juga Manusia dan kembali membacanya. Well, saya tidak tahu apa yang saya lakukan pada diri saya sendiri. Dan saya rasa itulah masalah yang sedang saya hadapi.
Di satu sisi saya merasa struggling too much on something yang bahkan tidak seharusnya saya pedulikan. Saya terbebani dengan berbagai hal yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawab saya. Sehingga lelah begitu menyadari resiko yang saya hadapi dan hal-hal yang sebenarnya harus saya lakukan. Sejujurnya sedang apa saya ini?
Tempat yang paling saya rindukan di muka bumi adalah di kamar kos saya sendiri. Saya tidak punya kekuatan untuk pulang. Yang secara fisik memerlukan seharian penuh perjalanan dan ongkos yang lumayan, tapi saya juga lelah pikiran dan hati. Sekadar untuk bermanis-manis di rumah pun saya tak sanggup. Akhir-akhir ini saya banyak menghabiskan waktu untuk SMSan dengan bunda saya. Menceritakan hal-hal tidak penting atau kegiatan yang sedang saya jalani. Menanyakan adik-adik dan ayah. Walau lebih sering lagi saya BBMan dengan ayah saya yang saat ini sedang berada di Kalimantan. Pulang pergi Jawa-Kalimantan dua bulan terakhir membuat saya tak bisa membayangkan bagaimana keadaannya sekarang.
Terkadang saya merasa bahwa kekuatan terakhir saya adalah dengan mengingat kehangatan mereka. Hal yang sederhana dan justru aneh kalau tak terjadi memang, tetapi terkadang saya merasa banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal tidak penting dan malah merugikan diri saya sendiri dibanding menjadi bahagia seperti apa yang mereka pinta.
Tugas-tugas kuliah yang tidak bisa disambi, jadwal kuliah yang semakin aneh saja, kegiatan di luar kelas yang juga semakin sinting jadwalnya, serta acara-acara yang harus saya hadiri. God, what the hell I’m doing with my life? Am I really messed up?
Dan akhirnya sore ini saya ambruk di tempat tidur. Tidak sanggup melakukan apa-apa. Bahkan untuk menghapus sisa-sisa eyeliner dan mascara yang sudah tidak berbentuk. Jadi saya hanya merebahkan diri setelah dengan lemah mengganti baju dengan piyama.
Setelah itu dengan bodohnya saya baca buku yang jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan mata kuliah saya dan tidak memberikan informasi baru bagi hidup saya (saya tipikal orang yang suka baca buku yang sama berulangkali di waktu yang berbeda). Kemudian memasrahkan diri saya untuk tertidur dalam satu jam ke depan. Benar saja, satu jam kemudian saya terbangun dengan kondisi kamar yang sudah mulai gelap. Ketika saya nyalakan lampu, jam sudah menunjukkan jam setengah 6 sore. Kepala saya sakit luar biasa, badan saya serasa remuk dan kaku dalam waktu yang sama. Tak ada yang dapat saya lakukan kecuali tetap rebahan setelah meminum sedikit air mineral.
Kemudian pukul 6 saya berangkat latihan.
Sepulang latihan saya tak sanggup lagi untuk berbuat apapun yang saya rasa berguna. Agak segar memang, membaui hawa hujan di luar ruangan sambil tertawa akan hal-hal yang saya lalui bersama teman-teman. Saya paksakan diri saya merapikan kamar yang beberapa hari ini seolah tak tersentuh kecuali untuk mendaratkan mata berat saya di atas pukul 12 malam.
Kemudian sebuah telepon menyadarkan saya.
Telepon itu dari keluarga saya di Tenggarong, Kalimantan Timur. Siang hari tadi saya memang sengaja BBM Tante saya itu untuk tanya kabar berikut kiriman bulanan. Lalu Tante saya cerita bahwa kondisi keuangan keluarganya sedang tidak baik. Something was came up, dan mereka sedang berusaha mengatasinya sekuat tenaga. Dan bodohnya, I don’t even know why I letting myself to ignore my family. Saya semakin tidak mengerti diri saya sendiri. Di titik ini, saya seolah menjadi si buta yang terus mengeluh karena gelap. Dan bertanya-tanya apakah saya bisa mengatasinya. Sementara saya sendiri tak pernah tahu apa yang saya hadapi dan akan saya hadapi.
Tante dan Oom saya menelepon dengan suara riang dan latar yang jernih. Jam memang sudah menunjuk pukul 12 malam ketika mereka menelepon dan saya kira adik-adik sepupu saya sudah jatuh terlelap. Jadi mereka bisa menghabiskan waktu berdua kemudian menelepon saya.
Dasar cengeng, ketika Oom saya bersuara dengan riang dan nada jenakanya, saya malah ingin menangis rasanya. Saya hanya menanggapi canda sekenanya dan menyahut untuk menenangkan mereka. Kemudian Tante saya yang bicara dan saya bahkan tak dapat menahan apa-apa lagi dalam diri saya.
Saya runtuh dengan daya yang telah saya kumpulkan sejauh saya bisa mengingat bahwa saya mengalami masa indah dengan keluarga saya.


Saya rasa saya tidak pernah menjadi anggota keluarga yang baik.
Saya lahir sebagai anak bungsu dari keluarga yang selalu mewujudkan apa yang saya mau. Dan ketika saya berada dalam keluarga yang berbeda dari apa yang saya rasakan sebelumnya, saya selalu merasa bahwa it’s not my place. Jadi tak masalah ketika tak ada yang cocok dengan saya, saya juga tidak seharusnya berada di tempat itu.
Namun mustahil menjadi orang baik ketika saya tidak ingin mempedulikan keluarga saya.
Sementara saya tak pernah kepikiran akan menjadi family woman, yang akan mengtake care segala sesuatu tentang a whole house and a whole family. Tiba-tiba pandangan yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya itu terlontar dari orang-orang yang selama ini sangat mempedulikan saya tapi tak pernah saya apresiasi kehadirannya.
Suara sendu Tante saya yang berusaha meyakinkan bahwa keadaannya baik-baik saja tanpa berusaha mengatakannya itu seolah membawa saya pada kenyataan bahwa tidak hanya saya yang berusaha untuk memperbaiki diri saya. Mereka pun yang sudah dewasa, jauh lebih dewasa dari saya, terkadang merasa gagal dan sedih ketika tak mampu memenuhi kebutuhan orang terkasihnya. Bahwa ketika suatu waktu saya berpikir bahwa “berikan saya kebebasan karena masa kalian telah habis”, adalah ucapan bullshit yang tidak ada bedanya dengan saya yang berkata akan mengurus diri saya sendiri.
Mereka masih hidup di waktu ini. Masih berjuang dan berusaha membahagiakan orang-orang di sekitar mereka. Bagaimana bisa saya berkata mereka sudah habis masa? Ketika bahkan apapun yang saya lakukan takkan seimbang dengan apa yang telah mereka lakukan. Dan apa yang saya berikan, saya tidak pernah memberikan apa-apa sebenarnya, tidak akan pernah membalas apapun yang mereka berikan. Saya tahu terkadang saya kejam tanpa saya sadari. Saya mengkhianati diri saya sendiri dengan berkata kasar pada orang-orang yang peduli pada saya.
Dua tahun lalu saya kabur dari rumah, dan orang-orang inilah yang mengtake care saya. Saya tidak ingat apa-apa kecuali bahwa everybody was cried that time dan saya sedang benci dengan hidup saya sendiri. Hal bodoh bagi saya yang juga tak bisa mengawali atau mengakhiri apapun.
Kini saya sedang dalam perjalanan hidup saya sendiri, dan dengan bodohnya bertanya-tanya apa jadinya hidup saya tanpa mereka. Apa yang akan terjadi pada diri saya ketika mereka tidak menyelamatkan saya. Dan apalah daya saya yang selalu merasa sendiri ketika mereka selalu menemani dengan doa.
Dan saya, masih belum memberikan mereka apa-apa.
Am I a lucky bastard?


Sejuah yang saya masih ingat, saya mulai memahami bahwa keluarga saya juga punya ulang tahun. Waktu itu usia saya masih awal belasan, dan saya asyik menghitung usia Tante, Bunda, Ayah, dan Oom saya. Waktu itu usia mereka masih berada di awal dan pertengahan tiga puluhan. Dan dalam waktu lama saya sadar bahwa saya juga telah melupakan bahwa mereka tidak lagi tiga puluhan.
Waktu berlalu lebih cepat bagi mereka hingga saya sadar keriput di wajah Bunda dan kantung mata di wajah Ayah. Hal yang akan terlihat pula di wajah Tante dan Oom saya paling tidak lima tahun mendatang. Sementara saya masih sibuk mematut di depan kaca, apakah saya cocok pakai bedak A atau B, lipstik warna pink atau merah, dan mulai insecure dengan fisik saya sendiri.
Saya lama tak sadar, seiring saya yang bertumbuh dengan pesat, orang tua dan keluarga saya juga menua meskipun dengan lambat.
Dan saya tiba-tiba merasa bodoh karena menangis saat membayangkan apa jadinya hidup saya ketika mereka tiba-tiba pergi? Tidak. Tidak. Tidak. Tidak.
Jangan.
Mereka telah berjuang dan berusaha sejauh ini. Lebih dari yang saya kira. Dan hingga kini saya ragu apakah saya bahkan mampu menjadi orang tua seperti mereka?
Membuat keluarga adalah hal kesekian bagi saya ketika saya masih dibahagiakan oleh orang tua dan keluarga saya.
Saya harus bisa membahagiakan mereka terlebih dahulu. Salah. Saya harus bisa membahagiakan diri saya terlebih dahulu, baru membahagiakan mereka. Saya harus bisa menjalani hidup dan kewajiban saya dengan bahagia sebelum saya yakin saya siap membahagiakan mereka dan berkeluarga.
Saya mungkin belum bisa menjawab apa yang kira-kira akan saya lakukan untuk dan dalam hidup saya. Tetapi sebuah kepastian bahwa saya akan menjaga keluarga saya. Lebih dari yang saya sadari.
Dan alangkah piciknya saya selalu mengeluh dan mengeluh akan kegiatan saya setiap hari. Ketika mereka tak pernah sedikitpun mengeluh tentang berapa banyak kesusahan yang mereka hadapi setiap harinya. Bahwa mereka membawa beban yang jauh lebih besar dari yang saya pikul sekarang.
Beberapa hari ini saya percaya bahwa true love doesn’t exist. Kecuali di film, novel, lagu, cerpen, puisi, dan semacamnya yang mungkin tidak nyata.
But my family, was my ultimate true love.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)