Chill

Haha.
Maaf, ya. Kali ini izinkan saya menulis dengan ketawa miris sebelumnya. Dengan ketawa sungkan, maklum, dan nggak tega. Dan sebenarnya hal itu bukan kemauan saya, hanya saja saya orang yang selalu dapat motivasi menulis dengan hal-hal miris dan nggak karuan yang terjadi di hidup saya. What a wonderful life!!
Selama sembilan belas tahun lebih saya hidup, saya merasa terkadang cukup kesusahan dan kerepotan dengan masalah ataupun ujian yang diberikan Tuhan. There’s so much things left behind. My family, my passion, my career, my interest, my love life, my friends, etc. Tapi itulah hidup, kan. Kita harus bisa taktis dan praktis dalam menentukan sesuatu. Mencari celah yang sekiranya akan menjatuhkan atau malah menguntungkan. Sejauh ini, saya ribuan kali terjatuh. Mencium tanah, tersungkur dan tak bisa apa-apa adalah hal yang sering saya lalui sejak saya kenal masalah. Sempat juga membesar dan terlontar ke langit. Saya tidak bilang bahwa dengan itu saya sudah merasakan apa yang seharusnya makhluk hidup rasakan, tapi saya meyakinkan diri saya bahwa setidaknya saya punya tolak ukur dalam hidup saya.
Ketika menghadapi suatu masalah, kini saya bisa mengukur apakah masalah yang saya hadapi lebih besar atau lebih kecil dari sebelumnya, dan bagaimana penyelesaiannya. Saya sudah mulai bisa bersikap di depan orang sesuai dengan apa yang saya harapkan. Tidak semudah itu, memang. Saya masih kesulitan hingga saat ini. Namun Tuhan tidak pernah menyia-nyiakan saya untuk jatuh tanpa belajar. Untuk terpuruk tanpa terluka dan kemudian sembuh. Beberapa bahkan meninggalkan bekas yang selamanya akan saya kenang sebagai masa lalu, dan beberapa hilang ditelan bisikan angin yang melenakan.
Saya selalu bilang tulisan yang baik itu tulisan yang jujur. Namun kini saya sangat kesulitan untuk menemukan dan mengungkapkan kejujuran itu agar maksud saya dalam tulisan ini tersampaikan. Nyali saya menciut, sama pengecutnya ketika saya memutuskan keluar dari rumah dan memulai hidup saya dengan apa yang tidak saya punyai. Maybe I collect things.
Hidup pun memberikan saya banyak pertemuan dan perpisahan. Saya kenal orang dari berbagai latar belakang dan sifat. Dari yang pendiam sampai yang nggak bisa diam, dari yang tertutup sampai tidak punya apa-apa lagi di dalam dirinya, dari yang sakit-sakitan sampai yang nggak pernah sakit, dan masih banyak lagi. Terlalu banyak lagi untuk saya ceritakan.
Dan, itulah hidup.
Terlalu banyak orang di hidup kita. Hidup saya.
Saya mungkin hanya seorang. Namun hidup pernah memberikan saya lebih dari sesuatu. Lebih banyak sesuatu dalam hidup saya selama ini. Sejauh yang saya ingat, so many people jealous my life. Yang saya nggak ngerti letak irinya di mana. Hingga kini saya menyadari apa yang dicemburui orang (yang tahu, tentu saja) dari hidup yang sering saya umpat mati-matian ini.
Kini, ketika saya menghadapi diri saya sendiri dari sudut pandang orang lain.
Saya mengerti.
Bahwasanya karena terlalu banyaknya masalah yang pernah saya hadapi, pandangan orang tentang saya tak lebih dari debu yang takkan mengubah langkah saya. Mungkin bikin mata saya kelilipan, itupun kalau saya membiarkan kepala saya turun ke bawah. Dan saya,

Tak akan pernah turun ke bawah karena pandangan orang.

Orang mungkin memandang saya rendah, hina, dan tak berarti. Namun almarhumah Mama saya mengajarkan bahwa tidak sekalipun orang bisa memandang kita hina, kalau kita tidak memandang diri kita rendah. Tidak akan ada orang yang mengejek dan melecehkan ketika kita tidak memberikan kesempatan mereka untuk menjatuhkan. Tidak akan ada yang sanggup merendahkan diri kita, kecuali diri kita sendiri.
Hal ini diajarkan almarhumah Mama melalui pendidikan dan pengajaran putra-putrinya. Bapak pun begitu. Berkali-kali beliau berkata bahwa tak bisa memberikan harta warisan yang mampu menyejahterakan tujuh turunan, tapi bersekolah dan belajarlah. Bapak yang akan menanggung sebagai bentuk warisan yang dapat diberikannya pada putra-putri tercintanya.
Mulai sejak itu, saya belajar bahwa hidup adalah diri kita yang menyikapi diri kita sendiri. Apa yang terjadi pada diri kita, apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan, dan banyak hal lainnya.
Saat itu pun saya belajar, bahwa kita tak bisa sepenuhnya disukai oleh semua orang. Not even close at all. Dan hal itu normal. Wajar. Tak ada yang perlu disesalkan. Buat saya, tidak menyukai seseorang itu bukan dosa, kok. Yang dosa, yang salah, yang tidak benar itu adalah bagaimana kita menunjukkan ekspresi ketidaksukaan itu.
Semacam ketika Anda berkata bahwa Anda mencintai seseorang, kemudian Anda membuatnya menangis dan mengecewakannya, buat saya cinta itu bullshit. ‘cause you ruin it. Simpel. Sama ketika mengatakan benci dan menggunjing di belakang, kemudian di depan bermanis dan memuji-muji. Thats double negative, though.
Kemudian apakah di depan orang yang mencintai harus selalu tampak cinta? Sementara di depan orang yang tidak disukai harus selalu sengit? Tidak. Kali ini, saya percaya orang yang baik adalah yang mampu menempatkan dirinya di depan orang yang ia cintai atau mencintainya, serta orang yang dibenci atau membencinya.
Orang yang bisa beradaptasi begitu, akan hidup lebih lama dan lebih bahagia.
Dan mungkin, itu yang saya kejar. Akan selalu saya usahakan dan saya jadikan panutan.
Bahwa hidup saya sudah susah walaupun tidak ada orang yang menyusahkan. Hidup saya sudah rumit walau tidak ada orang yang merepotkan.

Jadi, ketika saya ditanya komentar orang tentang saya, saya nggak pernah dendam, tuh. Saya baik-baik saja. As long as I can tell, kebahagiaan saya berarti lebih dari apapun dalam hidup saya. Kebahagiaan saya pun banyak; melihat Ayah Bunda bahagia, adik-adik bahagia, teman-teman bahagia, dan banyak lagi. Jadi nggak pernah simpel, kan?
Orang pun melakukan banyak hal agar diri mereka sendiri bahagia dan mazel tov untuk mereka. Mungkin bagi sebagian orang menyumpah, merutuk, dan mengumpat adalah kebahagiaan tersendiri? Probably!
Saya, sih, bukan ingin jadi orang sinis dan sirik dengan kebahagiaan orang. Saya juga punya banyak impian yang mungkin sudah dijalani oleh jutaan orang di dunia ini. But that doesn’t matter at all. Mimpi tetap mimpi, impian tetap impian, bahkan walau sudah dijalani. Yang indah, alangkah baiknya ketika dijalani dengan kebahagiaan. Itu saja.
Terkadang saya berpikir, mungkin kebahagiaan orang lain untuk menggunjing dan mengumpat saya adalah hal yang mereka butuhkan untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Atau membuktikan bahwa saya harus menjilat ludah sendiri dan terbukti bersalah adalah sebuah pembuktian yang mewujudkan diri mereka sebagai sosok yang lebih baik.


Yang penting, saya nggak pernah membuktikan diri saya dengan cara demikian. Mengetahui kelemahan atau keburukan orang lain adalah kepuasan bagi orang tertentu. Bagi saya? Biasa aja.
Saya sudah hidup 19 tahun. Nggak kering pengalaman, walaupun masih kurang dan akan terus kurang. Nggak lagi haus hura-hura, walaupun masih pengin senang-senang dan having fun. Nggak gila perhatian, walaupun masih cari perhatian dan keramaian.
Yah, jadi dengan tulisan ini saya nggak pengin menghentikan mereka yang terus ngomel dan ngomen tentang hidup saya, lho. Hanya saja, saya ingin mereka itu bertanya pada diri mereka sendiri
Kalau saya bahagia, omongan Anda juga engga ada gunanya, kan. Jadi, apa Anda bahagia? Kalau ya, selamat. You just increase your maturity as a human, hell. Kalau tidak, ya sudah, sih. Boro-boro saya peduli. Darn, buat apa Anda susah-susah ngomongin orang yang bahkan ngga tahu nama Anda. Oh, truly. You deserve the answer!


Fucking thing without f word!

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)