Bisa Nyebrang di Bali

Ha, its been a week. Dan seperti film yang berputar begitu cepat, kini saya sudah kembali duduk di lantai kamar saya yang dingin, ditemani angin yang pelan merambah ke ranting-ranting pepohonan di depan rumah.
            Satu minggu juga saya meninggalkan ruangan ini berikut segala aktivitas di dalamnya. Termasuk laptop sebagai sarana saya menulis ini. Jangan tanya bagaimana rasanya, karena begitu saya sampai kemarin dan benar-benar punya waktu luang, saya langsung menyalakan laptop dan bersiap memulai perjuangan saya yang sebenarnya. Tempat yang takkan bisa saya khianati kendati jutaan kali saya berada di sana. Tempat jari-jari saya berfungsi sebaik-baiknya dan menjalankan tugasnya, pun tugas saya. Saya rindu keadaan ini. Bisa kembali menulis walau seperti biasa tak jelas juntrungnya. Mungkin saya harus mengubah nama blog saya menjadi hal yang benar-benar tak penting dan tanpa tendensi. Tapi sayang juga. Bisa lah dipikirkan nanti.
            Seminggu kemarin? Saya jalan-jalan. Kondisi kesehatan saya sudah cukup dikatakan pulih walau tidak senormal dahulu. Kondisi keuangan saya pun bisa dibilang mengkarat karena dua bulan terakhir sarana arus pengeluaran saya hanya toko buku lokal dan resto dekat rumah. Alasan saya jalan-jalan adalah kondisi mental saya yang semakin bobrok lantaran tak punya lagi alasan untuk terus berfungsi. I’m jobless now. Officially don’t have anything to do. Jadi saya pikir, “suck. Let’s get rid of it. I’m out of here.” Jadilah saya melanglang buana dari Surabaya, Jember, hingga ke Pulau Dewata.
            Tak banyak yang bisa saya ceritakan. Saya malah semakin khawatir dengan diri saya sendiri. Baru dua bulan terkurung di rumah dan di kota ini, begitu saya menginjakkan kaki di keramaian dan hiruk-pikuk kota, saya gagap luar biasa. Alih-alih bersikap sewajarnya, perilaku saya malah kalau tak terlalu santai, jadi terlalu waspada. Berbagai hal membuat saya bergidik ngeri. Keramaian, kerumunan, kepenatan. Terlepas dari kamar saya yang terasa sejuk dan kota saya yang anginnya selalu bergumul siang dan malam, berada di kota lain terasa begitu panas. Saya tak henti-hentinya berkeringat. Pengalaman yang takkan terlupa, mungkin. Menyadari bahwa saya seperti manusia gua yang seolah sudah bertahun-tahun tak pergi sama sekali dari tempat tinggalnya.
            Seperti apa Jogja berbulan-bulan mendatang?
            Tubuh saya pun seolah dikuras. Kini saya didera kelelahan luar biasa dan merasa akan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Susah juga. Berminggu-minggu lalu saya berusaha mengakrabkan diri dengan kondisi santai dan tanpa pikiran ini. Menjadi orang yang dikasih makan doang setiap hari. Kemudian minggu lalu saya harus berusaha beradaptasi dengan banyak kegiatan seperti berjalan, mencangklong tas, membawa sesuatu, tertidur kelelahan, dan lain sebagainya. Saya merasa tak terbiasa.
            Bepergian rupanya lagi-lagi bukan hal favorit saya. Saya tak bisa mengatakannya sebagai ‘travelling’, karena saya merasa tak pantas untuk itu. Pergi ke tempat-tempat yang sudah terprediksi, terencana, dan menjalani kehidupan sebagaimana mestinya bukanlah travelling bagi saya. Dan saya tak tahu kapankah saya bisa benar-benar travelling. Saya tidak ingin terlalu banyak berekspektasi, tentu saja.
            Katakanlah saya mungkin terdegradasi.
            Banyak hal yang tiba-tiba terlupa begitu saja dari memori saya. Semisal saya tidak sengaja nonton Spiderman 3 di tv dan kemudian saya teringat The Amazing Spiderman, sementara kepala saya memutar otak untuk mengingat nama si pemeran utama. Yang baru saya temukan dua hari setelahnya. Crap. Is Andrew Garfield was too difficult to remember, you dumb-ass? Entahlah. Begitu pula untuk menemukan kata-kata lain yang seolah terselip dalam salah satu memori otak saya.
            Sherlock Holmes was right. Kita tidak bisa membayangkan otak kita seperti sistem yang akan terus berkembang sesuai dengan informasi baru yang kita terima. Sebaliknya, otak kita adalah ruangan sempit tempat laci-laci berderet. Ketika kita mendapatkan informasi baru, maka informasi itu akan menyita tempat lain di otak kita dan secara otomatis menghapus memori lama. Itu sebabnya semakin kita mengingat suatu hal, maka semakin banyak bagian dari hal itu yang akan terkikis. Terlalu banyak mengingat sesuatu akan membuatnya semakin berkurang.
            Well, it happened to me.
            Bisa saja ini adalah jalan saya untuk benar-benar menemukan diri saya sendiri. Memori-memori yang terbuang bisa saja tak penting dan akan diganti dengan memori yang lebih penting dan berharga. Informasi yang banyak membantu saya di masa depan, I guess. Hanya saja terkadang saya merasa tak adil, ya. Ketika hidup saya selama ini berusaha tidak ingin menyesali apapun dari apa yang terjadi di dalamnya, saya selalu berusaha menarik banyak hal dari suatu kejadian. Kini hal-hal itu bisa saja terhapus dan terbuang dengan hal yang ‘dinilai’ lebih baik.
            Karena itu pula, saya yang awalnya ingin membuat ‘catatan sekadar jalan-jalan’ menjadi urung. Tidak ingin semakin melupakan hal-hal kecil yang saya sukai dari perjalanan kemarin. Sebaliknya, saya malah menulis tak karu-karuan begini karena tak ada pekerjaan.
            Ya, terkadang begitulah. Sebaik apapun judul yang kita tetapkan, akhir yang akan menentukan segalanya. Seperti yang mengawali post ini dengan mantap dan mengakhirinya dengan kebimbangan paten yang mungkin takkan pernah beranjak dari hidup saya. Untill I found it. I have to.
           
NB: ini hanya sekadar catatan tak penting usai ‘gegar budaya’ yang saya alami pasca koma. Kemudian saya sekarang apa? I tell you. I’m in strict and straight line.



Know what? The suck-thing is I hate this jobless-condition. This healthy-unhealthy condition drives me insane.

Comments

  1. ^^ boleh nambahin mbak?.. gitu masih ada aja org lain mbacot doang ..dan nyinyir ...biasanya.. "enak ya elu bla..bla.. " berasa pengen nampol tuh cocot .. -_-

    ReplyDelete
  2. Saya pribadi nggak masalah dengan orang-orang seperti itu. Tergantung kita saja menanggapinya, kan. Semoga hari Anda menyenangkan :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)