Aku Akan Menulisnya Nanti

Dan aku terempas. Dengan sendirinya.
Ditemani langit, yang meski tidak selalu biru, namun setia menanti. Menampung cahaya, memantulkannya ke laut. Di mana aku menemui angin, yang tak kunjung meredup nyalanya. Seolah ia meniup segala sesuatunya dengan kemahaannya, tanpa ada yang melihat. Gaib.
Ketika datang waktu senja, sedikit banyak aku merasa bahwa aku harus menulis. Banyak atau sedikit pun. Entah untuk apapun. Tak tahu apa yang ditulis pula. Dan kemudian memaksaku untuk mencermati butiran hujan di luar kaca dingin, mencerna bait demi bait puisi dan sajak yang sejak dulu tak pernah saya pahami artinya, maupun berempati pada kerut bapak-bapak tua pengayuh sepeda di tepi jalan. Pada akhirnya, semua muncul dan mencapai kesepakatan bersama. Yang selalu berubah-ubah setiap waktu. Saling muncul dan menyaingi satu sama lain. Sedangkan aku, hanya diam membisu. Sebodoh kala itu. Dengan segenap kesanggupan untuk merangkum semuanya dalam membran otak yang begitu lambat. Mencoba merangkainya menjadi setidaknya satu dua kata atau lebih. Kemudian menyimpan sendiri dalam memori hati.
Berjanji.
Aku akan menulisnya nanti.

Ketika aku berkata, aku ingin bahagia. Bahwa aku tahu dan yakin kebahagiaan yang aku punya sangat kuat, sehingga tak ada yang bisa merebutnya. Karena aku saja yang tahu bagaimana bahagia itu. Aku menentukan sendiri kebahagiaanku, dan hidup untukku sendiri. Sebisa mungkin tidak ingin menyesali keputusan apapun di hidup ini. Kendati aku bersikeras menyangkal bahwa kita hidup dalam hikayat takdir yang sama, tetapi tak pernah padam harapku bahwa aku bisa mengubahnya. Menjalani hidup yang aku suka.
Tetapi bodohnya aku bisa-bisanya membayangkan diriku bak Summer dalam film 500 Days Of Summer. Entah percaya atau tidak, film itu bagiku mencapai puncaknya pada adegan di mana Tom dan Summer duduk berdua di sudut favorit Tom yang hanya dibaginya untuk Summer seorang kendati mereka tidak lagi bersama. Jauh jauh tidak lagi bersama.
Adegan itu terasa begitu absurd sehingga yang terekam pada kepalaku hanyalah betapa egoisnya sosok Summer. Dan aku berterima kasih pada Tuhan karena Tom menyadarinya. Entah, bagiku yang bisa memberantas kebodohan hanyalah kesadaran bahwa apa yang dipercaya tidaklah benar. Bukan berarti kesalahan itu adalah kebodohan, tapi dibohongi adalah kebodohan. Aku percaya pada hal itu.
Dan kini ketika aku hanya ingin hidup bahagia, semampuku untuk berbahagia, hingga sebahagia-bahagianya, nyatanya aku tak pernah henti menyakiti perasaan orang lain. Sehingga lambat laun aku merasa begitu menikmati apa yang terjadi padaku tanpa mau berkompromi terhadap segala kesusahan yang aku anggap hasil dari perbuatanku untuk mencapai kebahagiaan.
Aku menemui sosok diriku lagi di kamar ini menjadi orang yang begitu berbeda dari beberapa tahun lalu, entah kenapa. Mungkin inilah yang dinamakan tumbuh dan berkembang. Sejauh yang aku amati, aku tetap sebebal dan sebodoh dulu. Tetap senekat dan sesembrono itu. Tanpa ada diriku yang lain yang akan mengingatkan. Dan tidak heran pada akhirnya aku hanya akan mengalami siklus, waktu dan adegan yang sama pada periode yang tidak bisa kutentukan. Dan perlahan membuatku menjadi pribadi yang lebih pribadi dari yang kukira. Sehingga lambat laun tak kutemukan lagi gadis bertahun-tahun lalu yang tengah bercermin sambil meminjam ponsel ibunya itu. Kini ia duduk, mendengarkan lagu. Terkadang bersenandung, terkadang menari. Sendiri.
Sebagian orang menganggapnya gila. Sebagian lagi biasa saja. Banyak lagi menganggapnya tak penting diperhatikan. Namun itulah siklus. Akan selalu ada hal serupa yang bahkan kuketahui betul alasannya.
Dan pencarianku tak pernah henti hingga tiba pada masanya aku merangkum segalanya dalam pertanyaan paling filosofis yang mungkin otak bebalku dapat temui. Siapa. Aku.
Dan percayalah, aku tak pernah sanggup menemui jawabnya.

Perlahan aku menatap laptop pertamaku ini. Sudah renta. Lima tahun menemani tanpa pernah absen. Walau sudah banyak cacat di sana-sini. Speaker yang tak lagi mampu mengeluarkan suara apapun, tombol keyboard yang lepas, keypad yang tak sepeka dulu lagi, dan masih banyak lagi, masih banyak lagi. Namun aku perhatikan, sebagai benda tak hidup tak pernah ia rewel. Ia rusak saat sudah waktunya rusak, dan amit-amit, jangan sampai pada saat di mana aku begitu membutuhkannya. Tidak. Berhari-hari kunyalakan untuk sekadar memutar lagu kesukaan, berkali-kali memutar film favorit, bahkan berhubungan dengan teman di dunia maya. Sejauh yang aku ingat, laptop ini selalu ada. Bahkan dengan baiknya menyimpankan data-data paling berharga yang mampu kutemui. Menampung segala keluh kesah, tangis dan kebahagiaan yang terkadang tak pernah bisa kubendung.
Tak pernah memang kubanggakan sebagai yang terbagus dan terbaik. Tetapi itulah indahnya. Ia nyata. Tak pernah aku angankan karena selalu ada. Tak pernah kuharap akan sempurna karena aku tahu ia melengkapi banyak hal yang kubutuhkan. Bahkan terkadang sebaik-baik pembuat memori. Ia genap menjadi dirinya sendiri.
Dan aku, pemiliknya?
Akankah terus begini? Melontarkan pertanyaan yang selalu sama sejak dahulu kala. Seolah tak belajar. Yang bahkan kini pun kusangsikan, sudahkah aku belajar? Pengalaman hidup yang panjang ini, sudahkah aku belajar?
Aku tak tahu belajar untuk apa, bahkan untuk jadi apa. Kendati segala ujian memiliki tujuan dan niat baik. Mungkin yang kubisa hanyalah merekam. Seperti kaset rusak yang mengingatkanku untuk menjejak ketika aku ingin melambung lebih tinggi. Dan membawaku dengan perlahan pada kenyataan yang tidak setiap hari membuatku ingin berbagi. Itu saja.
Kebahagiaan yang aku punya, kepuasan yang aku rasakan, dan rasa terima kasih yang aku panjatkan pada akhirnya tak membawaku ke mana-mana. Memindahkan raga tanpa memindahkan jiwa. Aku tak menemui muara apapun di dalamnya. Dan hidup tak pernah lelah untuk memerintahku menggali dan menggali. Mencari yang bahkan aku tak tahu apa. Karenanya aku dianggap tak bersyukur atas apa yang aku terima, kala aku tak tahu apa yang aku ingin.
Aku hanya harus selalu bisa menahan diri untuk menangisi segala sesuatunya. Hidup, pertemuan, perpisahan, rasa sakit, rasa indah, mati, cinta, sedih, kebahagiaan, kehancuran, dan segala metafora-metafora yang seringkali membuatku sakit dan tak mampu berdiri.
Hingga di titik ini aku tak menemui apapun.
Tidak kucari apapun.
Aku seolah ingin selau menghanyutkannya dengan air, menitipkannya pada angin, dan memuntahkannya dengan api. Tanpa mampu membendung dan memahaminya. Menatap dengan pikiran dan tangan yang kosong. Mewadahi hal-hal yang seringkali kutemui tak sesuai ekspektasi. Dan aku tidak pernah merasa melewatkan sesuatu. Alangkah bodohnya.

Detik ini aku hanya ingin melihat jalan panjang membentang hingga beratus kilo jauhnya, dengan padang gersang di sisi kanan kirinya, dan aku yang menaiki mobil pick up tua bersama satu koper penuh pakaian dan menyambut segala kemungkinan sepanjang jalan yang akan kutemui. Siang yang terik. Angin yang menyapu. Suara musik 90-an di tapenya terdengar lirih. Mengenakan kemeja flanel bermotif kotak dan celana jeans ¾ yang nyaman. Kaca mata hitam terjepit di telinga. Sepasang sepatu kets, tas tangan. Orang-orang yang merindukanku. Aku yang tak peduli. Dan menyongsong kenyataan bahwa bulan berikutnya akan mendaki bersama kawan-kawan.
Yang aku lakukan hanyalah melontarkan obrolan tak penting untuk diriku sendiri. Memaki apapun yang dapat kumaki. Beruntung jika ada yang menemani dan siap mendengarkan cerita tak bermutu. Atau saling mendiamkan tetapi saling mendapatkan.

Itulah letak segala kesusahan yang dipenuhi harapan dan impian. Tidak ingin berbahagia atau membahagiakan orang lain. Tidak ingin menyembunyikan cerita atau keadaan. Di mana ucapan-ucapan akan keluar bersama angin.

Dan alangkah pemilihnya, untuk orang yang bahkan tak tahu apa yang membuatnya bahagia dan diinginkan.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)