Dari Sebuah Surat Ucapan Ulang Tahun yang Panjang

Sabtu, 7 Februari 2015. Hari yang panas. Cuaca yang panas. Terik.
Saya di sini, mendidih di balik dinding kamar lantai dua Perumahan Mastrip Blok B, mengamati dedaunan di depan kamar lantai dua yang terpapar sinar matahari dari pintu kamar yang terbuka lebar-lebar, sekaligus awas akan kehadiran pemangsa kecil yang seringkali berkunjung tanpa permisi di ruangan ini.
Saya punya kebiasaan membersihkan kamar sebelum mulai beraktivitas. Entah itu akan pergi dan melewatkan seharian di luar rumah, maupun sekadar membaca buku di atas tempat tidur maupun menonton film dan serial televisi yang sudah berulangkali diulang. Pokoknya suasana kamar harus benar-benar bersih, setidaknya tak ada kotoran di lantai yang terlihat kasat mata. Kemudian barulah saya akan menggelar lapak dagangan hidup saya. Dagangan karena bagi saya seperti pencari nafkah, bahan bakar kehidupan saya yang sebegitu-sebegitu saja. Tidak menghasilkan uang, bagi saya nafkah bukanlah uang semata. Namun apa yang saya lakukan di depan laptop saya berguna membuat saya meluangkan pikiran saya dan menjadi pemantik segala kekuatan menjalani kehidupan saya esok hari.
Mungkin karenanya saya tidak mau tempat ibadah ini menjadi kotor dan tidak nyaman. Hasilnya akan berdampak pada mood saya, bahkan.
Target bersih-bersih saya hari ini tiba-tiba terhenti di kardus bergambar dedaunan berwarna pink dengan stiker bertuliskan ‘save the planet – Lawu Hargo Dumilah 3625 mpdl’. Kardus itu adalah hadiah ulang tahun dari teman-teman terkocak saya, teman nongkrong saya sepanjang hari. Stikernya sendiri saya dapat ketika saya naik gunung Lawu tahunan yang lalu. Stiker serupa saya tempel di laptop compaq saya ini sebagai pengingat untuk hemat energi, bullshit barangkali.
Tiba-tiba tangan saya tergerak membuka kardus itu. Isinya tak lebih dari album-album masa kecil saya yang sangat menyenangkan, seperti pada umumnya. Dan kotak lain berisi kado ulang tahun yang ke 17. Saya ingat jelas, karena itulah ulang tahun terakhir yang saya rayakan dengan konsep birthday party ‘Young, White, and Free’. Suck. Hehe. Perayaan itu sangat spesial bagi saya, karena sudah bertahun-tahun sejak birthday party saya yang terakhir, di usia saya yang mungkin baru belasan tahun. Dan pada masa itu saya merasa sudah berhasil dengan baik di usia 17. Punya banyak teman, kegiatan, dan cinta. Hangat sekali.
Dan lebih spesial lagi karena acara itu seperti late party buat kami yang sudah kelas 3 SMA. Jadi Januari itu yang seharusnya diisi dengan acara belajar dan try out, saya habiskan untuk mengadakan party buat teman-teman seangkatan dan lain angkatan pula untuk refreshing terakhir. Hujan mengguyur sejak awal acara. Memporakporandakan konsep garden party, namun acara berlangsung khidmat. I’m happy, everybody happy. Dan yang entah kenapa saya ingat adalah ketika acara doa, semua begitu khidmat. Karena kakek saya yang memberikan doa supaya kami lolos ujian nasional dan dilancarkan, bla bla bla. Semua, bahkan yang paling nakal sekalipun saling mengamini. Padahal kalau upacara Senin, boro-boro amin. Pada diem aja rasanya adalah keajaiban.
Dari kotak kecil itu saya temui hadiah-hadiah kecil seperti victorinox, jam tangan, kotak pensil, gelang, dan lain sebagainya. Kemudian dari dasarnya, saya menarik setumpukan kertas berisi ucapan selamat dan doa yang menyertai kado-kado itu.
Saya baca ulang, dan saya tak pernah bisa menahan diri saya untuk tidak hanyut. Dan hanyut. Lama sekali.

Tiba-tiba, secarik surat yang panjangnya hampir dua lembar folio bergaris menyembul dari tumpukan yang ada. Tentu saja karena bentuknya yang panjang dan tulisan yang unik (kalau nggak tega menyebut jelek, sih) hehe.
Surat itu dari mantan pacar yang saat itu masih bersama saya.
Perlahan saya membacanya, dan perasaan saya sedikit demi sedikit dihantui perasaan tenggelam akan masa lalu yang sangat berharga itu. Dan tak pernah lagi akan terulang, tentu saja. Semuanya hanya kenangan yang terserah kita akan diapakan. Ditimbun, ataukah dibawa ke manapun. Mengombang-ambingkan lamunan kita dengan hal-hal yang sudah bukan waktunya lagi akan terjadi. Begitukah?
Surat itu bukan hanya ucapan kini. Melainkan cermin. Kaca spion yang saat saya tengok mengatarkan saya ke belakang, masa yang pernah saya lewati. Dan seperti halnya kaca spion pada umumnya, kini saya tak bisa lagi melihatnya secara persis. Saya yang sedang berada dalam kendaraan supar cepat hanya mampu melihatnya dengan posisi yang terbalik. Begitu pula hati ini. Perasaan-perasaan yang ada di dalamnya, yang mampu saya bawa ini telah terbalik dari apa yang telah saya tinggalkan itu.
Segalanya telah berlalu, dan bukan kapasitas saya mengkhawatirkannya. Lagi.
Kini jalan hidup kita telah terbuka masing-masing. Kita menjalankan sistem dan prinsip dunia kita sendiri. Tanpa mampu membunyikan bel untuk menyerah dan memilih kembali ke masa segalanya lebih mudah dan lebih baik-baik saja.
Ada perasaan kehilangan yang sama ketika saya sadar bahwa file-file tulisan saya raib entah ke mana. Perasaan ini tidak begitu saja dihasilkan karena kita memberikan sesuatu dan kemudian di bawa pergi oleh orang lain. Perasaan ini muncul sebagai reaksi terhadap segalanya yang kini berlangsung rumit lebih dari yang saya ketahui.
Saya tidak pernah enggan menyebut diri saya bodoh. Karena saya sadar apa yang saya lakukan terkadang memang bodoh dan tak terdeteksi sebagai salah satu penyelesaian dalam masalah hidup yang saya terima di masa kini maupun nanti.
Mungkin saya kehilangan masa-masa berharga saya di dalam kardus ini karena kebodohan saya.
Dua tahun yang bagi saya terangkum sempurna dalam surat ucapan terakhir yang dia berikan. Pun dua tahun yang lalu. Kini saya 19 tahun, dan segalanya tidak lagi sempurna. Saya menyadari tiba-tiba hidup ini penuh dengan komplektisitas yang saling berpasangan maupun berlawanan. Seperti saya yang ingin menikmati lagi masa-masa dahulu, namun tak ingin melepaskan masa depan yang mungkin kini telah saya jalani separuhnya.
Dan perasaan yang ada di dalamnya tidak juga hilang.

Terkadang saya sempat juga ditanya, “apa kamu masih menyimpan perasaan terhadap x?” Kendati waktu itu saya sudah pacaran dengan y.
Ketahuilah, terkadang ungkapan ‘perasaan’ itu tak sesimpel arti harfiahnya. Kalau sedang tidak mood dan keki dengan si penanya, saya biasanya jawab, “masih lah. Perasaan eneg, enggan, bahkan sungkan, mungkin.”
Kemudian akan ada ralat bahwa ‘perasaan’ yang dimaksud adalah perasaan yang tertinggal. Entah dapat diartikan secara positif maupun negatif. Yang jelas yang dimaksud dengan ‘perasaan’ adalah masihkah ada rasa cinta, sayang, dan suka yang masih tersimpan hingga kini dan perasaan menyesal karena telah berpisah.
Maka jangan salahkan bila jawaban saya pun tak bisa lebih simpel.
Bagi saya, mustahil menghilangkan perasaan terhadap orang yang benar-benar kita sayangi, meski kita tak lagi bersama. Meski saya sudah menyebut kita pada diri saya dan orang lain. Itulah.
Saya memahami hal ini dan akan menjawabnya bahwa tentu saja masih ada. Saya mungkin tak bisa terus bersama orang yang saya sayangi, namun bukan berarti saya berhenti menyayangi dan peduli padanya. Dan pada titik tertentu, kita akan bertemu kembali tanpa mengusik perasaan yang sudah ada. Melupakan itu tak pernah berarti menghilangkan. Ketika saya tiba di masa saya harus menjawab pertanyaan demikian, tentu saja saya akan menjawab segalanya berkaitan karena itulah hidup.
Namun tidak benar jika perasaan yang masih tersimpan itu akan mengganggu hidup dan hubungan saya selanjutnya. Saya mungkin akan meyakinkan diri saya bahwa saya akan menjalani hubungan ke depan dengan segala pelajaran yang dapat saya petik dari hubungan sebelumnya. Bullshit. Pada akhirnya, saya kembali dari nol. Karena bagi saya, individu itu berbeda dari bagaimana kita menyikapinya. Dan pada hakikatnya mereka memang berbeda. Jadilah saya tak pernah menyamakan si x dengan y atau dengan z atau dengan v, dan lain sebagainya, dan seterusnya dan seterusnya.
Bagi saya perasaan yang tertinggal untuk orang yang tak lagi ada di hidup kita tidaklah untuk dibunuh. Seringkali saya menganggap, putusnya hubungan kekasih antara dua orang bukanlah mereka yang saling membunuh perasaan pasangan dan kemudian membunuh perasaan sendiri. Bagi saya, hubungan yang sudah tak bisa diteruskan itu adalah apabila kita berhenti menumbuhkannya. Karena kita takkan pernah bisa menghilangkannya secara instan.
Saat saya memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih dengan seseorang, saya tidak membunuhnya sekaligus dari hidup saya. Saya hanya menghentikan perasaan saya dalam batas tidak bisa lebih menyukai lagi, dan tak bisa lebih membenci lagi. Perasaan itu selanjutnya akan tersimpan, menjadi usang dan kemudian dibuang perlahan-lahan. Memberi ruang lagi untuk senyum dan jalinan pertemanan yang lebih baik. Memulai sejak awal.
Perasaan itu akan terus berkembang. Seperti kita dan pemahaman akan dunia.
Ketika ia terhenti, tak ada yang bisa diperbuat.
Dan menikah, bagi saya bukanlah bagaimana untuk tetap menjaga dan bertahan dalam satu bahtera yang sama. Melainkan bagaimana saling menumbuhkan perasaan untuk terus menerus. Seperti kuku. Tak peduli berapa ratus dan ribu kali ia dipotong, kuku yang sehat dan hidup akan terus dan kembali tumbuh seolah tak terjadi apa-apa. Beberapa kalipun diberi pewarna, ia akan kembali pada warnanya ketika tiba masanya. Tak pernah mengkhianati dengan janji yang tidak pasti. Kalau dibiarkan, ia akan memanjang tanpa terkendali. Kalau dipotong, bukan berarti memberangus yang ada, melainkan membiarkan kuku inti tetap ada dan memperbarui pertumbuhannya.
Sama seperti perasaan.
Saat sudah terlalu panjang, akan mengganggu dan terjadi gesekan bahkan luka akibat kita yang tidak hati-hati menggunakannya. Itulah sebabnya harus dipotong. Perasaan pun harus dibatasi. Tidak boleh membelukar sesuka hati ke sana dan ke mari. Namun tak pernah mengusik esensi perasaan pada asalnya. Jika memang cinta, maka akan seperti kuku induk. Kuku yang memanjang adalah bentuk berupa perhatian, kasih, keinginan, dan lain sebagainya. Terkadang kita perlu, kok, memberangus hal itu karena akan melukai satu sama lain apabila berlebihan.
Karena segalanya yang berlebihan itu tidak baik.
Dan itulah yang terjadi dengan saya dan mantan kekasih si pemberi surat ucapan itu. Kami enggan memangkas perasaan-perasaan yang tidak mampu beradaptasi dengan hal-hal baru dalam hidup ini, sehingga saling melukai terlalu lama. Dan pada akhirnya, kita harus berhenti memanjangkannya.
Cinta itu, cukup di sini saja.

Kini hampir dua tahun sejak perpisahan itu, yang ada bukanlah bekas. Kami tetap ada. Sebagai bentuk yang baru. Cinta yang pernah ada itu disulap menjadi hal yang lebih baik. Ibaratnya kuku, tidak mungkin dipanjangkan lagi, tetapi masih bisa diwarnai. Walau entah mungkin nanti menyebabkan kanker, atau rusaknya jaringan kuku dan kulit, kami seolah tetap mempu membuatnya terlihat tidak monoton, dan kembali berwarna dalam arti sesungguhnya.
Kami begitu banyak berubah bahkan tanpa kami sadari.
Dan seiring dengan itu, makin banyak orang yang masuk dalam persahabatan kami. Tidak lantas merenggang. Membuat kami utuh dengan semakin banyak organ yang lain. Tidak hanya sebagai kuku. Mungkin menggenapi sehingga menjadi kesatuan organ yang baik di kemudian hari.
Atau mungkin begini.
Barangkali kami bukannya tidak lagi ingin memanjangkan perasaan inti yang ada, hanya saja kami bukan orang yang tepat untuk terus memanjangkannya tanpa melukai satu sama lain.
Dan pada titik itu, kami sudah sama-sama memilih.
Bahwa yang bahagia akan dipertahankan, yang tidak akan dibiarkan pergi.
Bahwa bahagia ada karena diri kita yang berbahagia, dan kesedihan ada bukan untuk dimaki dan dipikirkan lebih jauh lagi.
Dan saya sama sekali tidak pernah mempermasalahkan alasan yang selama ini kami gunakan ketika banyak ditanya orang mengapa putus. Jarak.
Jarak itu tidak pernah berarti, atau kalau kita menganggapnya menjadi penyebab dalam hubungan retak ini, berarti kita hanya mencari alasan bagi diri kita masing-masing yang takkan pernah bisa bersama karena sudah tidak nyaman lagi, terlebih saling melukai. Sebanyak apapun mimpi itu terucap, terkadang kami hanya ingin mengamininya, dan membiarkannya.
Setidaknya bagi saya, kita sudah berhasil memaklumi dan mengerti satu sama lain. Namun kita bukanlah orang yang tepat untuk tumbuh tanpa saling melukai.

Dan memang baru kini saatnya saya bisa dan sanggup menulis ini. Setelah lama sekali terdiam. Atau lama sekali melaju tanpa kendali. Sederhana saja, sebuah surat ucapan ulang tahun yang isinya begitu indah dan jujur. Mampu membuat saya menulis, bahwa semua yang terjadi berada di kendali kami. Begitu kami sadari.
Saya, dan kamu hanya tak mampu mengangkatnya kembali. Kita tahu, kita sudah kehabisan tenaga untuk itu.
Dan kamu, yang berhenti menganggapnya berguna.
Serta saya, yang mengenali, bahwa kisah ini takkan beranjak dari masa segalanya masih putih.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)