Do Sharp, Look Sharp
Sejujurnya saya sedang entah dengan
diri saya sendiri.
Semasa SMA saya suka sekali menulis.
Apa saja. Di luar blogging, biasanya
saya selalu rutin menulis setiap harinya. Ratusan lembar cerita telah terwujud
dan kini nyaris tak ada yang bisa saya lakukan atas tulisan-tulisan itu.
Sebagai penganut paham win-win solution,
menulis seperti itu bagi saya dulu adalah lahan latihan yang sangat potensial
meskipun saya tahu tulisan-tulisan itu kelak akan berada dalam tahap ‘mau
dibawa ke mana?’. Kini setelah beberapa waktu menempuh perkuliahan di bidang
sastra yang juga saya gemari, rasa-rasanya saya malah tak menghasilkan apapun.
Cerita tidak, buku apalagi.
Kebanyakan saya hanya menulis di sana-sini. Eh tidak. Menulis di sini saja, tepatnya. Blogging. Menceritakan
keresahan-keresahan saya yang terkadang nonsense.
Menciptakan dunia saya yang kadang tidak teraih. Proyek-proyek yang saya
bayangkan selama saya SMA untuk saya lakukan di bangku kuliah mandeg-deg-deg.
Macet semacet-macetnya. Memang melakukan sesuatu itu tidak semudah
kelihatannya. Nyatanya kini saya nyaris tak melakukan apa-apa. Padahal waktu
telah sangat mencukupi bagi saya untuk mengoleksi banyak hal dan mengubahnya
menjadi cerita-cerita baru yang kelak pasti juga akan sangat berharga bagi
saya.
Bagaimana kalau saya mati esok?
Apa yang akan saya tinggalkan selain
pemikiran-pemikiran tidak jadi ini? Yang juga tidak banyak berguna. Saya
memiliki kemampuan seperti orang kebanyakan untuk melihat segala sesuatu dari
sisi yang sama seperti orang lain. Saya tak bisa seperti beberapa orang yang
saya kenal yang terlihat sangat spesial bagi saya untuk memahami sesuatu dengan
cara mereka. Cara yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Pernahkah saya
mengatakan betapa predictable-nya
saya?
Saya sudah berusaha untuk break the boundaries. Mendapatkan
pengalaman di luar yang mampu dicapai orang lain. Saya ingin menekankan pada
diri saya sendiri bahwa saya berbeda. Saya belajar dan mengerti sesuatu dengan
cara yang berbeda. Dan hal itu bukanlah salah. Mungkin selama ini saya selalu break another people boundaries. Saya
melihat orang-orang di sekitar saya, melihat hal-hal yang mereka impikan dan
nyatanya bisa saya raih. Kemudian saya meraihnya sekadar untuk membuktikan
bahwa mimpi itu punya kekuatan, begitu pula diri kita. Saya melakukan itu hanya
karena saya tak tahu batas saya di mana. Apa yang saya inginkan. Dan apa yang
akan saya lakukan.
Hal-hal yang selama ini menuai
banyak komentar, sindiran, nasihat, kritik, cacian, bahkan makian di hidup
saya, bukanlah hal yang saya impikan. Namun tetap saya lakukan karena hanya itu
yang saya bisa.
Saya mengetahui kecenderungan
‘berpikir seperti biasa’ ini ketika saya mengikuti organisasi di kala saya SMA.
Seperti umumnya organisasi intra sekolah lainnya, selalu ada berbagai macam
orang dalam lingkaran tersebut. Ada yang dapat diandalkan, ada yang dapat
dipercaya, ada yang dapat diperintah, ada yang dapat mengerti, dan ada yang
dapat kesialan. Saya merasa saya tidak bisa apa-apa. Saat itu saya dikelilingi
orang-orang yang memiliki kemampuan-kemampuan itu sementara saya nol. Saya
hanya ikut arus. Saya hanya berlenggak-lenggok ke sana kemari. Membawa pom-pom,
memegang microphone, menangis,
memegang bola basket, memegang bola voli, memegang bola futsal, membaca buku
tidak bermutu, nonton film tidak bermutu, mengobrol, tertawa, membawa speaker dan pakaian ganti, sesekali
mendengarkan lagu. Terlalu banyak dan terlalu bodoh bagi saya menceritakan
kebodohan-kebodohan saya. Tapi waktu itu saya tidak minder. Saya merasa semua
orang melakukan hal yang sama. Mereka melakukan apa yang mereka bisa dan saya
pun begitu. Tidak perlu saling menyalahkan dan tidak perlu saling menuntut. Yang
saya ketahui waktu itu, orang-orang yang mampu melakukan lebih dari saya itu
memang terlahir seperti itu. Mereka dianugerahi sebuah kemampuan khusus di mana
kalimat “tolong siapin kegiatan besok, ya” bisa jadi seabrek kesibukan dan
keperluan. Sementara kalau kalimat itu diucapkan pada saya, saya akan
mengangguk meyakinkan tanpa tahu apa yang harus saya lakukan.
Di SMA, apa yang saya lakukan hanya berkeliling tanpa arah. Bermimpi.
Berkecimpung dalam lubang kebodohan saya, yang tak ingin saya tinggalkan. Bukan
karena terlalu nyaman, hanya karena saya berpikir bahwa saya takkan bisa
mengubahnya. Segala sesuatunya sudah presisi pada tempatnya. Dan tempat saya
waktu itu adalah menjadi follower. Bragging along. Dan saya menikmatinya.
Demi apapun itu, saya menikmati masa-masa terindah dalam diri seorang wanita
seperti yang dikatakan Daisy di film The Great Gatsby. Kecantikan dan
kebodohan adalah anugrah terbesar bagi seorang wanita.
Bukan berarti saya menyombong.
Kecantikan yang saya maksud adalah kondisi di mana saya tidak khawatir akan
fisik saya. Saya tidak takut menjadi gemuk, tidak takut menjadi berjerawat,
tidak takut menjadi pendek, tidak takut menjadi tidak sempurna. Kecantikan yang
saya maksud adalah hal yang terpancar ketika kita tidak jauh dari rumah.
Terawat, dimanja, dipuja. Hal yang terjadi di rumah manapun.
Dan kebodohan. Saya terlalu bodoh
untuk khawatir. Untuk mencemaskan fisik saya. Untuk menonton film bermutu atau
mendengarkan musik-musik bagus.
But
that was one of the best part in my life.
Dan hanya terjadi sekali.
Hingga kini saya selalu
terlongok-longok dan terkagum-kagum dengan orang-orang yang mampu berpikiran out of the box, atau yang tidak mampu
saya pikirkan sama sekali. Orang-orang yang memahami hal dari dimensi yang
berbeda. Yang selah tidak tersentuh sama sekali hingga mereka mau membaginya
dengan saya. Orang-orang dengan jalan hidup biasa-biasa saja yang mampu memukau
saya dengan luar biasanya pengetahuan mereka.
Dan apa yang saya lakukan selama
ini?
Menjadi terlalu terprediksi tidak
enak juga.
Jalan pikiran saya sangat mudah
ditebak. Tidak pernah rumit. Mungkin akan mencapai titik kulminasi ketika
memasuki tahap tertentu dalam siklus perempuan. Tidak akan ada kata-kata
mengejutkan yang keluar dari mulut saya terutama bila kita telah lama kenal.
Takkan banyak perubahan yang terjadi kendati kita telah lama tidak bertemu.
Saya mungkin tumbuh dan berkembang. Namun dalam arah yang terlalu dikenali
semua orang sehingga saya senang sekali menunjukkan sisi-sisi saya yang tidak
dapat diterima orang lain. Setidaknya saya menjadi berbeda. Apakah itu penting?
Tidak juga. Saya hanya memuaskan naluri saya yang hampir selalu terprediksi.
Mungkin saya adalah cerminan
tokoh-tokoh novel abad ke-19 yang nyaris tidak memiliki apa-apa dalam hidupnya
kecuali pemikiran yang baginya sendiri pun tidak penting dan menemukan satu
saja hal luar biasa dalam hidupnya kemudian pergi mengembara atau mati.
Karena terlalu terprediksinya saya
itulah, saya merumuskan dua tujuan yang seharusnya menjadi penting dalam hidup
saya karena saya tidak punya tujuan lain yang lebih tidak penting. Percayalah.
1. Tokoh-tokoh
perempuan yang sempurna di novel (cantik, tinggi, kaya, berpendidikan, pintar,
berselera tinggi, cerdas, unik, memiliki like
ability yang tinggi) harus musnah. Atau setidaknya dijadikan nyata.
2. Saya
harus bisa berbasa-basi dan memiliki setidaknya 20% kemampuan untuk disukai
orang lain. Terutama pada awal bertemu. Bagi orang-orang yang bahkan saya tidak
peduli apakah anggota keluarganya seorang residivis atau aktif dalam kegiatan
tertentu di kehidupannya. Singkatnya emampuan ini penting bagi saya
berkomunikasi dengan orang-orang yang sebenarnya I don’t give a shit about.
Mengapa
saya melakukannya?
Maksud saya, apa latar belakang
terciptanya tujuan-tujuan itu?
Mengenai poin pertama. Saya selalu
merasa bahwa novel dengan tokoh utama perempuan sempurna itu priceless.
Dalam artian tidak berharga. Tidak memiliki kemampuan untuk gejolak hidup yang
nyata. Bukan karena tokohnya tidak nyata, hanya karena kita menganggap tidak
ada lagi yang perlu dipusingkan dari tokoh sesempurna itu. Dan apabila ada, itu
urusan dia. Karena kita (yang perempuan) juga tidak sesempurna itu. (Well,
kalau Anda merasa sesempurna itu, mungkin itu masalah Anda...)
Terutama perempuan dengan konteks sempurna yang disukai hampir semua
lelaki dalam novel itu. Menurut saya: kelar idup lo.
Novel dengan tokoh seperti itu
selalu ada. You know damn well I’m right.
Tapi tidak nyata. Tentu saja. Kalaupun memang ada, buat apa juga dinovelkan.
Begitu pikir saya. Tokoh perempuan yang sempurna dalam novel mengurangi
kekuatan novel itu sebagai sebuah karya. Jangan tanya teori karya sastra pada
saya, kebetulan buku-buku saya di Jogja dan saya tidak punya keinginan untuk
meriset hal itu. Yang jelas di sini perempuan-perempuan dengan tingkat
posibilitas tertinggi untuk disukai lawan jenis itu semakin tinggi tingkat
posibilitasnya maka akan semakin membosankan dan semakin terlacak pula.
Karena permasalahan umum pada
perempuan semacam itu adalah cinta. Harta. Dan hampir kesemuanya karena ego.
Mengapa saya ingin tokoh-tokoh itu
musnah, bukan karena saya iri sebab hidup dan diri saya juga jauh dari
sempurna, bahkan nggak sempurna sama sekali, adalah ingin menyadarkan semua
perempuan bahwa kita punya like ability yang
harusnya sama. Seperti yang dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada perempuan yang
jelek, yang ada hanya perempuan malas. Semua perempuan tidak harus cantik, tapi
harus menarik. Dan tokoh-tokoh cantik di novel itu harus dibabat habis. Nggak
perlu cantik, nggak perlu manis, nggak perlu berlesung pipit apalagi berkulit
putih. Tapi harus menarik. Susah, kan? Tapi bagus. Karena tingkat kemenarikan
seringkali tidak terpengaruh tingkat kecantikan. Sehingga semua perempuan bisa
berusaha yang setimpal satu sama lain untuk menjadi menarik.
Nggak perlulah tokoh di novel itu
digambarkan tentang betapa cantiknya paras si tokoh (terutama tokoh utama).
Saya sendiri orang yang malas baca deskripsi fisik tokoh kecuali memang
perlu-perlu amat. Tetapi bagaimana menghidupkan tokoh adalah bukan dari
deskripsi. Melainkan kekuatan dialog, prilaku, dan alur. Dari sana kita bisa
menyimpulkan si tokoh itu begini dan si tokoh itu begitu. Tanpa harus didikte.
Tanpa harus diceritakan bahwa si tokoh keturunan bule campur Palembang atau
apalah. Setiap wanita itu cantik. Setiap wanita punya kemampuan untuk lebih
cantik lagi. Tetapi tidak semua wanita cantik dianggap memiliki tingkat
kewajaran tertentu untuk meraih hal yang juga indah dalam hidup mereka. Semua orang berhak mendapatkan hal yang
sama.
Well, mengenai poin kedua.
Jujur-jujuran saja, saya bukan orang
yang bisa berbasa-basi. Saya lebih suka diam dan mengamati. Saya juga sedikit
percaya akan kesimpulan deduktif semisal ketika saya bertemu seseorang dan yang
ada dalam pandangan saya ia baik-baik saja, saya nggak akan repot-repot
bertanya, “sehat?”.
Saya canggung dan sedikit takut
duduk dengan orang yang baru saya kenal, terutama jika kami dikenalkan. Dalam
kondisi yang rikuh pula. Biasanya, saya hanya akan tertawa. Saya nggak tahu mau
nanya apa, mau ngobrol apa, mau bicara apa. Nggak mungkin saya membuka
pembicaraan dengan, “tahu nggak, di Academy
Award kemarin saya jagoin ‘Whiplash’
yang menang, eh nggak tahunya ‘Birdman’,”
tanpa si lawan bicara menunjukkan interest-nya
tentang topik Oscar atau film-film bagus tahun 2014.
Saya paham bahwa saya dilahirkan
tidak untuk disukai. Saya dilahirkan untuk menjadi dan menjalani hidup sebagai
diri saya sendiri. Dan itu yang terpenting. Tetapi di sisi lain saya merasa
bahwa komunikasi antar manusia itu juga penting. Sangat esensial malah. Tapi
terbayang kan, apa yang ada dalam pikiran kita ketika lawan bicara kita nggak
asyik? Nah, bukannya saya sering menghadapi hal itu. Saya adalah bagian dari
lawan bicara yang nggak asyik tersebut. Terutama ketika saya dan lawan bicara
saya baru bertemu atau baru beberapa kali bertemu dan benar-benar tidak ada
ikatan emosional.
Jangankan pada orang yang baru saya
temui atau teman-teman yang masuk kategori cuma-tahu-aja, pada sahabat-sahabat
saya sendiri pun saya sering kagok.
Nggak heran teman-teman SMA saya
bercandaannya suka keterlaluan dan kalau ada istilah out of the box, ini sih box-nya
mereka ratain terus dibuang. Kadang-kadang saya sering nggak ngeh dengan
bercandaan teman-teman saya ini. Mungkin saya yang kelewat bego tapi naluri
saya mengatakan hal ini disebabkan perbedaan geografis dan budaya. Saya sudah
mulai terbiasa hidup di Jogja, yang ewuh
pakewuh-nya sangat dijunjung. Orang-orangnya primordial dan bahkan ada
beberapa yang etnosentris. Kemudian bergabung dan menjadi satu-satunya di
kalangan teman-teman yang seringkali misuh-misuh karena macetnya Malang dan
panasnya Surabaya, serta betapa membosankannya Probolinggo. Saya seperti cultural shock sendiri padahal mereka
juga teman-teman seperjuangan semasa SMA. Tentu saja saya sebagai minoritas
akan lebih banyak diam atau tertawa tanpa bisa ikut dalam candaan mereka. Saat
dicandai saja saya sering bingung harus merespon bagaimana. Dan ini benar-benar
terjadi.
Mungkin saya berusaha menjadi orang
yang easy going, tetapi kesensitifan
saya yang tidak tepat itu terkadang membimbing saya untuk lebih banyak mikir
daripada menikmati. Lebih banyak mikir daripada berusaha beradaptasi. Lebih
banyak mikir daripada mencoba bergabung dan memberanikan diri.
Hingga di satu titik senior saya
berkata bahwa saya harus bisa berbasa-basi, dan kelak saya pasti bertemu dengan
orang yang sangat mirip dengan diri saya sekarang. Dan tanpa sadar saya akan
merasa kesal juga menghadapi orang itu.
Saya tidak tahu harus menanggapi
bagaimana omongan senior saya ini (nah, kan), jadi saya berkata, “mungkin iya,
ya.” Tapi kalau sampai saya bertemu dengan orang yang mirip saya sekarang
(tidak bisa berbasa-basi, red.) saya tidak akan kesal. Saya malah senang. Saya
akan memahami apa yang terjadi pada orang itu dan tidak akan menuntutnya untuk
menjadi orang lain hanya karena mereka tidak bisa menerima diri kita apa
adanya.
Yang dimaksud like ability itu seperti kejadian ini.
Sebelum saya kuliah, saya sempat
lontang-lantung cari kampus. Bersama beberapa teman senasib seperjuangan, saya
pun terdampar di Jogja. Saya bersama teman perempuan saya numpang menginap di
kos seorang senior dari kota yang sama. Tidak lama, mungkin hanya dua malam.
Bahkan setelah saya diterima kuliah pun saya masih menumpang di tempat mbak
senior itu untuk beberapa hari sementara saya cari kosan.
Tidak lama mbak senior saya itu BBM
saya intinya tanya pin BB teman saya yang dulu juga ikutan nginap di tempat dia
(teman saya itu diterima kuliah di kota lain). Kemudian mereka kangen-kangenan
lewat PM-PM di BBM tanpa mengikut sertakan saya. Padahal saya dan si mbak
senior ini sudah tak pernah lagi bertemu. Kontak di BBM pun rasanya seperti
formalitas saja.
Dari sana saya tahu, like ability saya rendah.
Saya bukan tipikal orang yang langsung
bisa berhaha-hihi dengan orang yang baru saya kenal. Tidak bisa langsung
tuker-tukeran pin BBM atau ID Line atau follow-follow-an IG begitu pertama
bertemu. Kemudian setelahnya komunikasi rutin bernada, “iya sayang,” atau “iya
cantik,” dan kemudian hang out bareng
dan jadi sahabat sedarah. Selama saya hidup, selalu butuh lebih dari itu untuk
jadi sahabat. Bertengkar, saling tuding, dimarahi bareng, saling memarahi,
akrab, curhat-curhatan, jalan-jalan bareng, nge-date bareng, karaokean, shopping,
dan banyak hal lain adalah proses saya sebelum bisa memanggil orang tertentu
itu sahabat.
Dan kini saya merasa kemampuan untuk
berbasa basi itu penting. Sama halnya dengan like ability. Entah bagaimana caranya. Menjadi cantik saja tidak
cukup untuk dapat disukai, menjadi pintar saja tidak cukup untuk dapat disukai,
bahkan menjadi berbakat pun tidak cukup untuk dapat disukai. Entah bagaimana
caranya (lagi).
Mungkin saya harus merendah agar
dapat tinggi (semisal, “ah, nggak. Dulu keterimanya SBMPTN kok, meski sulit”).
Mungkin saya harus pamer kelemahan agar dipuji (seperti, “duh apanya yang
cantik, say. Itu jerawatan, gendut lagi akunya”). Mungkin harus unjuk
kebahagiaan agar pura-pura disinisin (semisal, “aduh iya nih seneng banget
dibawain oleh-oleh dari KKN. Bagus lagi. Jangan iri ya, minta sana ke mas pacar”).
Mungkin saya harus galau dan tertindas agar dapat simpati dan dihibur (seperti
,“ya ampun iya aku nggak apa-apa, kok. Makasih ya cantik, pengertian banget.
Nggak tahu lagi deh kalo nggak ada kamu kudu cerita ke siapa. Thanks berat”).
Dan ditambah latihan menggunakan emoticon kecup, bentuk hati, kecup
bentuk hati, peluk, dan lain sebagainya, di saat yang tepat sesuai konten dan
konteks.
Hm. Mungkin begitu.
Sebab selama ini saya dan
sahabat-sahabat saya biasanya ngobrolnya kotor. Chatting dan komentar pun begitu. Saya dan sahabat-sahabat saya
nggak pernah bisa saling memuji. Paling banter ya, “aduh envy aku.” Dan itu memang beneran envy. Pun biasanya ditambah belasan panggilan sayang yang tak
lekang sepanjang masa, “kampret ah”, “nggilani kon”, “raimu”, “sempak deh”. But it was meant to be.
Maybe
for these days, something honest is doesn’t matter as long as you have a lot
friends on social media and you are pretty famous.
Saya juga nggak bisa bertanya ini
itu pada semua orang dengan mudah bukan karena saya nggak mau dibilang kepo.
Namun lantaran saya percaya bahwa orang menceritakan apa yang ingin mereka
ceritakan. Orang berkata apa yang ingin mereka katakan. Apapun itu. Saya tidak
ingin mendesak, menuntut, atau merajuk untuk mengetahui rahasia orang lain yang
bahkan tidak saya yakini bisa saya jaga atau saya bantu. Seperti apapun ia,
seseorang memiliki arti tertentu dalam hidup kita. Bukan kuasa saya menghakimi,
menuding, apalagi menghukum. Orang-orang menampakkan sisi yang ingin mereka
tampakkan. Terkadang dari situ saya dapat melihat apa yang mereka sembunyikan.
Terkadang pula dari situ saya dapat melihat apa yang ingin mereka katakan. Karena
itu, kejujuran adalah hal yang penting.
Bagi saya, dan mungkin itu yang tak
dapat membuat saya berbasa-basi, kejujuran adalah segalanya. Kejujuran adalah
semua orang. Tak peduli seberapa baik atau seberapa buruk perilaku seseorang.
Mereka adalah kejujurannya masing-masing.
Saya layak menghabiskan waktu saya
untuk orang-orang yang jujur.
Namun masalahnya adalah, kini saya
diharuskan menghabiskan waktu dengan orang-orang yang sulit jujur tanpa
pretensi (agar dipuji, agar dihibur, agar diberi simpati, dan lain sebagainya).
Saya rasa memang bukan tempat saya...
Ah, saya memang kebanyakan mikir. Tentang
apa yang saya tidak punya, tidak saya mampu. Tetapi bukankah memang begitu?
Its not a must, but it is necessary.
Comments
Post a Comment