Sastra dan Andrea Hirata

            Sore ini saya menamatkan novel berjudul Ayah karya Andrea Hirata.
            Sejujurnya ini bukanlah pengalaman pertama saya ‘bertemu’ dengan karya-karya Andrea. Petualangan itu dimulai ketika semasa SMP saya belajar dengan seorang guru bahasa Indonesia yang baik dan luas pengetahuannya. Sejujurnya, saya sedikit lupa nama beliau. Saya biasa memanggilnya Bu Siti, tapi sedikit rancu karena guru bahasa Indonesia saya semasa SMA juga bernama Bu Siti. Yang jelas dari guru-guru bahasa Indonesia saya, saya mendapatkan banyak informasi dan pengalaman tentang dunia kepenulisan Indonesia.
            Sewaktu SMP pula saya mengikuti ekstrakulikuler majalah dinding. Bukan karena saya peminat garis keras dunia kepenulisan. Hanya saja ekstrakulikuler termasuk kegiatan wajib dan siswa diharuskan memilih. Dalam kelas majalah dinding itulah saya dikenalkan dengan Andrea Hirata. Guru saya langsung menyebut tetralogi Laskar Pelangi yang melegenda itu. Sementara saya yang waktu itu masih jadi anak bawang, lebih suka baca teenlit daripada novel serius, saya memutuskan ikut arus saja. Perlahan-lahan saya tinggalkan Petir karangan Dewi Lestari yang sedang berusaha keras saya baca dan saya meminjam satu per satu karya Andrea Hirata itu di perpustakaan sekolah.
            Ajaib.
            Laskar Pelangi tidak hanya membuat saya banyak menghargai karya sastra serius. Tetapi juga membuat saya melek akan dominasi karya-karya di Indonesia yang saat itu tampak memprihatinkan.
            Andrea Hirata benar-benar seperti oase, tidak hanya dalam dunia sastra, tapi juga dunia saya gersang. Saya mulai membaca karya-karyanya dan menamatkan tetralogi Laskar Pelangi itu selama saya duduk di bangku SMP.
            Masa SMA pun sesekali saya bertualang dengan karya Andrea. Membaca Sebelas Patriot, dihadiahi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Kemudian saya lulus SMA, bertemu dengan Cinta di Dalam Gelas. Dan kini setelah sekian lama saya menghentikan dominasi Andrea Hirata dalam list bacaan saya, kemudian mengalihkannya sebagai salah satu acuan saya dalam menulis banyak tugas kuliah, saya kembali bertemu dengan Andrea dalam bentuk novel berjudul Ayah yang telah sekian lama begitu menggodanya, dan kini baru bisa saya nikmati.
            Berapa lama pun saya hidup, tak pernah saya menyesal menghabiskan waktu dengan membaca karya-karya Andrea.
            Bagaimanapun caranya, Andrea Hirata telah membantu saya menjadi seorang mahasiswi sastra, penggemar buku, manusia yang hampir selalu tertawa, dan keranjingan menulis.


            Bagi saya, buku berjudul Ayah ini adalah buku tentang cinta.
            Bagaimanapun lucu, aneh, ajaib, kocak, indah, sedih, dan getirnya. Itu tetap cinta.
            Saya tak bisa memberikan review yang baik, memang. Tulisan saya bukan mengemukakan hal-hal yang sekiranya membuat pembaca tertarik untuk membeli buku tersebut atau menggugah sisi-sisi akademis dengan banyak istilah baku. Kali ini saya menyadari betul itu. Tetapi anggaplah ini sebuah kejujuran. Bentuk kegugupan saya untuk bertemu Andrea secara khusus pertama kalinya, lewat tulisan saya akan karya-karyanya.
            Andrea Hirata tak pernah berhenti membuat saya optimis.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)