18 Tahun


Hari ini aku mau jadi orang paling egois di dunia.
            Bukan karena sekarang tanggal 14 atau karena aku sedang ada di rumah. Tidak ada yang kupikirkan. Terkadang alasan ada bukan untuk diungkapkan. Dan aku lebih memilih menyimpannya selama apa aku dapat bertahan.
            Adalah hati, yang membisiki aku untuk mengubah subjek dari saya menjadi aku. Adalah hati, yang menggerakkan jemari yang tak pernah indah ini untuk sekedar menulis satu dua kata bagi yang dirindui. Adalah hati, yang menjawab semua pertanyaan akan alasan-alasan yang selama ini tak berdasar. Adalah hatiku.
            Selamat datang 18. Resmi sudah 18 tahun aku hidup. Dan hingga saat ini masih sangsi. Benarkah aku hidup?
            Bukankah semua ini sudah seperti berada pada lajurnya? Aku tak perlu melakukan apapun, bahkan untuk hidup, untuk sekedar tak keluar dari lajur itu. Aku menjalani kehidupan, tetapi aku belum hidup. Sejauh ingatanku dapat mengingat, kata hidup mungkin bukan kata yang tepat untuk menggambarkan helaan napas yang berat. Keringat. Tangis. Kata hidup yang dinamis takkan pernah jadi hidup saat hanya berpola pada satu lingkaran. Pada satu titik yang tidak aku ketahui di mana. Kenapa. Yang ada hanyalah alasan-alasan kosong. Yang seringkali kutemui dalam buku yang kubaca. Aku kira, untuk itulah aku ada.

~ ~ ~

Dan jangan salahkan, kalau dari sinilah kisah ini bermula (dituliskan).

~ ~ ~

            Terkadang ia menyukai kesendiriannya. Walaupun ia masih bisa mendengar suara Ibunya memasak di dapur. Atau pembantunya. Ia tak pernah bisa menebak perbedaan keduanya tanpa lebih dulu mencicip masakan yang telah tersedia di meja.
            Ia tak berniat membantu. Walaupun ingin. Karena ia tahu ia akan menyesalinya. Terkadang ia punya permasalahan saat berdua bersama siapapun itu. Apalagi keluarganya. Ia punya begitu banyak ketertutupan yang mungkin tidak ingin ia tunjukkan pada keluarganya. Ia hanya ingin menenangkan hati mereka. Menjamin semuanya baik-baik saja untuk kemudian ia bisa meringkuk sendiri.
            Ia menjamin tangis untuk dirinya sendiri.
            Ia suka menatapi langit dari balkon kamarnya yang sempit. Sengaja dibuat begitu, ia tak mau banyak yang menikmati kesendiriannya. Ia ingin sendiri untuk kesendiriannya. Dan terkadang saat bersama teman-temannya ia bisa membayangkan berdiri di balkonnya. Saat itulah ia terdiam.
           
            Suatu ketika ia berada pada hiruk-pikuk dan canda-tawa bersama orang-orang yang menyenangkan. Dan ia terdiam.
            Apa yang dipikirkannya?
            Berdiri di depan sebuah rumah panjang. Membayangkan menyentuh kusennya. Menatapi foto-foto yang tiba-tiba menjadi asing tanpa ia sadari. Membayangkan seseorang membelai rambutnya. Membayangkan seorang gadis kecil menyalip langkahnya, tersenyum dan memamerkan hidupnya yang bahagia, saat ia sadar itulah dia semasa kecil. Ia membayangkan berdiri di balkon rumah barunya.
            Sejauh ingatannya dapat mengingat, itulah yang ada di pikirannya saat ia terdiam.

            Suatu ketika ia melewatkan berkumpul bersama teman-temannya yang menyenangkan. Dan memilih pulang sendiri.
            Apa yang ia lakukan?
            Ia hanya mencari celah di mana ia bisa sedih tanpa seorangpun yang ia kenal tahu. Ia ingin membuat teman-temannya khawatir untuk alasan yang bagus. Ia ingin mendengarkan lagu yang tak bisa didengarnya karena tawa di sekitarnya.
            Sejauh ia dapat merasakan, itulah yang dilakukannya saat ia pulang sendiri.

            Suatu ketika ia menjadi begitu perhatian. Mengirimkan pesan singkat, menanyakan kabar dan mengingatkan makan. Tak ada yang heran, hanya saja.. tak setiap hari ia begitu.
            Kenapa dia melakukannya?
            Karena sadar kebersamaan itu takkan lama. Ia bisa mati kapan saja. Ia bisa sedih kapan saja. Dan dengan mengingat kebahagiaan bisa membuatnya membeku. Maka ia ingin menyayangi apa yang dimilikinya. Kendati kadang ia muak dengan balasan teman-temannya, terkadang ia menyesal sudah mengirimkan pesan singkat. Tapi tak sedetikpun terlintas dalam pikirannya ia tidak menyayangi mereka.
            Apa yang ia pikirkan?
            Hanya satu. Ia sudah cukup kehilangan.
            Sejauh yang dapat diingatnya, itulah yang dirasakannya saat ia tiba-tiba merindukan orang-orang dari masa lalunya.

            Suatu ketika ia mengganti semua lagu di ponselnya. Dari yang penuh artis Korea menjadi murni Indonesia. Kemudian dipadu artis luar negeri. Dari lagu-lagu sedih menjadi lagu-lagu bahagia, lagu frustasi, lagu patah hati. Tak tentu.
            Apa yang dipikirkannya?
            Ia sedang berpikir untuk menyembuhkan dirinya dengan cara yang mungkin tidak dapat dipahami orang lain. Ia pernah dicerca karena menghapus lagu-lagu dari ponselnya, tapi apalah yang dipikirkannya. Ia mendengarkan apa yang ia dengar. Ia merombak semua lagunya seperti ia merombak semua kenangan yang ingin ia hancurkan.
            Sejauh yang dapat dibuktikannya, lagu-lagu itu tak pernah dapat mengobati, dan itulah yang dipikirkannya saat mengganti semua playlist di ponselnya.

            Suatu ketika ia seperti kehabisan kesabaran. Merengek minta bermain sepanjang waktu. Meminta ditemani jalan-jalan tak tahu ke mana. Mengemis minta dikasihani karena kebosanan. Mendadak ia tergelak begitu kerasnya dan memaki begitu seringnya.
            Apa yang dilakukannya?
            Ia sedang sedih. Sebegitu sedihnya hingga ia tertawa sekeras mungkin untuk dirinya sendiri. Dan memaki sesering mungkin untuk dirinya sendiri. Ia sedang letih. Lelah karena keterpaksaannya. Lelah karena tak diberikan pilihan dalam hidupnya. Lelah karena mendadak ia sadar ia tak berbuat apa-apa.
            Sejauh yang dapat dirasakannya, itulah yang dilakukannya sebelum meminta terus berada di luar dan tertawa.

            Jadi jangan tanyakan kenapa. Jangan juga menuduh ia bermain drama.
            Ia melakukan apa yang ia ingin lakukan karena di sisi lain dalam hidupnya, ia ada dalam jalur di mana ia tidak memiliki pilihan untuk menjalani yang lain.
            Terkadang ia sangat-sangat mensyukuri saat-saat itu.
            Dia belajar dari apapun yang disebutnya sebagai hidupnya, Tuhan bekerja dengan sistem yang tidak kita mengerti. Seperti ia contohnya. Lewat ketiadaan, Tuhan membuktikan Ia ada.
            Karena saat ia tak pernah ingat bahwa ia sadar Tuhan ada, saat itulah Tuhan menunjukkan keadaan-Nya.

~ ~ ~

Mari dan silakan ganti subjek dia menjadi aku.
Dan aku juga akan berhenti menyebut ia sebagai orang lain yang tidak aku kenal.

~ ~ ~

            Berikutnya adalah tentang seorang lelaki. 2 tahun aku bersamanya. Lelaki yang mendekati tanpa alibi. Setidaknya itu yang ingin aku percaya.
            Lelaki yang kini berbahagia karena ia sadar kebodohan atas cinta sudah lama meninggalkannya. Ia sudah tidak lagi mencinta.
            Aku pun tidak. Tetapi sejak berpisah, baru kali ini aku menyayangkan segala kenangan yang menyeruak tanpa tedeng aling-aling. Tanpa alasan.
            Kini aku berada pada kegamangan. Untuk apa ia kuceritakan? Untuk meminta kasihan akan lukakah? Untuk apa ia ada di usia 18? Untuk membuat resolusi barukah?
            Tidak. Aku akan menjawabnya. Untuk berbahagia karenanya. Untuk lelaki yang pernah aku lihat cintanya, berikut amarahnya.
            Untuk lelaki yang tidak kucintai. Tetapi kulihat punggung itu menjauh. Kulihat lelaki itu bangkit. Sekedar kulihat. Karena aku tahu, aku tak bisa menolong.
            Aku sendiri tidak bisa bangkit.

 ~ ~ ~

            Terkadang aku ada pada waktu, tak seorang pun pantas mengharapkanku. Mendapatkanku. Dan bersamaku. Dan aku akan meminta maaf kepada lelaki yang pernah kusayangi.
            Betapa aku menghabiskan waktu mereka. Betapa aku menyakiti diriku sendiri untuk berpisah.
            Untuk sekedar beralibi saja, aku tak mampu.

~ ~ ~

            Dan bagiku, aku selalu ada pada waktu di mana aku ingin menghentikan segala perputaran gila ini dan kembali pada waktu aku tak mengenal apapun.
            Aku ingin kembali di mana keluargaku masih lengkap. Yang aku sangsikan kebahagiaannya sekarang. Betapa bodohnya.
Ia.
            Masih ada almarhumah Mamanya. Masih ada almarhumah Eyangnya. Masih ada almarhum Abangnya. Di masa sewaktu ia masih memanggil Ibunya dengan Kakak. Saat Kak Muda-nya masih ada di rumah. Saat seisi rumah bekerja dengan sistem yang ia tak pernah mengerti, kecuali hidangan yang selalu tersedia pagi, siang, dan malam.
            Tetapi sayangnya ia ingin ada di masa ia kenal Ayah kandungnya. Ia ingin ada di masa ia dipeluk seorang lelaki yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Ia ingin ada di masa ia mengenal Ayahnya.
            Dan ia tahu ia tak bisa berada dalam dua tempat secara paralel. Ia hanya bisa memilih dan hingga kini, ia tak tahu jawabannya.
            Sebab itu ia masih terjerembab dalam masa lalunya.
            Kendatipun orang-orang disekitarnya meyakinkannya tak ada yang bisa dilakukannya lagi untuk mengembalikan masa itu. Hidup lebih baik bagi mereka, dan ia harus menerimanya. Ia harus dewasa tanpa tahu caranya. Tanpa punya waktunya.
            Ia harus bisa menerima dan menjalani hidup yang ada padanya tanpa ia bisa tahu apakah ia punya pilihan lain.
            Tanpa mereka peduli apakah ia bisa bahagia selama ia masih bisa tertawa bersama teman-temannya. Selama ia tak meminta komputer canggih atau ponsel terbaru. Selama ia masih bisa keluar hingga larut malam. Selama ia masih bisa membanting pintu saat marah.
            Tidak. Mereka sejujurnya tak pernah peduli akan dirinya.
            Mereka tak tahu penderitaannya.
            Dan tak ada seorangpun tahu dan mengerti.
            Karena ia tahu, saat ia memberitahu dunia, ia hanya akan jadi anjing betina yang dilempar di tepi jalan.
            Ia tamat..

~ ~ ~

            Di usia sebelia itu. Ia mengubur semua mimpinya dan memilih menjalani jalur yang telah Tuhan buat untuknya tanpa pilihan itu dengan sekuat mungkin.
            Dari mana ia tahu itulah jalur yang Tuhan buat untuknya?
            Karena ia tak punya waktu untuk memilih. Karena ia tak pernah diberikan pilihan untuk memilih. Karena ia begitu lancar menghadapi cobaan. Karena orang-orang yang dimintainya pendapat mengatakan ia begitu hebat hidup seperti itu. Bukankah itu tanda bahwa hidup seperti anjing begitu sudah pantas untuknya?
            Ia tak ingin jawaban lain.
            Ia tak minta di kasihani. Ia tak minta diberikan simpati. Ia bukan budak diorama hidup yang dibuat Tuhan untuknya.
            Ia hanya memilih untuk tamat. Untuk mati sambil menunggu hidup benar-benar menganggapnya tiada.
            Karena ia adalah tokoh figuran dalam hidup orang-orang yang punya pilihan.
            Sejauh matanya bisa memandang. Pilihan adalah kehampaan.
            Dan baginya, orang-orang hampa adalah orang yang lebih hina dari sekedar mati.
            Jadi jangan salahkan dia. Jangan salahkan langkahnya. Karena tak ada yang bisa menyalahkan orang mati.
            Tuhan sekalipun tidak.

*end

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)