Aku Selalu Ingat
Aku selalu
ingat, kita punya cinta.
Dalam seluk beluk jalan yang tandus.
Padang ilalang yang kering meranggas karena rimbunnya panas.
Kita pun terkadang
punya cerita di balik cinta.
Akan asa yang tidak
kunjung datang. Sebuah penantian yang pahit. Sebuah kisah memilukan dari
hubungan yang telah berlangsung sekian lama. Selarik pengharapan yang tidak
kunjung datang. Terkadang ada yang membuat segalanya begitu rumit. Kendati
untuk berpisah.
Walau hanya satu
alasan. Walau hanya satu tujuan.
Terkadang aku tahu, masih bisa
kurasakan cinta itu walaupun hati yang kurasai meluncur di sela-sela jemari
yang terbuka, berharap disambut dengan hangat.
Hatiku pernah lepas.
Namun tak pernah bebas.
~ ~ ~
Aku tak tahu akan seperti apa
jadinya kelak.
Semengiriskan itu, kah? Senyaman
itukah dituliskan? Atau seindah itukah di dengar.
Aku ingin merasai hari-hariku
terjatuh begitu saja disekelilingku. Dengan cermat, dengan sadar seperti apa
yang aku lakukan sekarang. Aku ingin dapat menyikapinya.
Kini kukurungi hari-hari dengan rasa
yang begitu berbeda. Melihati orang-orang menjadi begitu monoton akan suatu
keyakinan yang perlahan membuatku sangsi akan diriku sendiri. Akan adanya aku
sebagai apa yang aku pikirkan selama ini. Aku hanya seolah larut dalam latar
mereka. Menjadi orang-orang yang dapat begitu saja meluncur melampaui hari yang
berlalu begitu cepat tanpa aku sadar apa yang kelak akan aku lakukan.
Aku mendengar tawa di luar kamar.
Dingin, tapi terasa
hangat. Entah kenapa. Ada yang dirindui dari diri seorang remaja yang telah
lama mengupas bawangnya. Kini buku-buku itu terkulai lemah di lantai tanpa aku
berani menyambutnya. Kini aku seolah adalah kusir yang kehabisan waktu.
Aku dapat mendengar suara lonceng
berdering di nasi goreng.
Mungkin aku menulis sambil melamun.
Mungkin aku menuli sembari mencaci diriku sendiri suatu saat kelak. Bahwa
rekan-rekan seperjuanganku yang akan menjunjung penghargaan akan diri mereka
sendiri sementara aku tetaplah di bayang-bayang tenang yang hanya mampu
menatapi bulir-bulir masa lalu melampauiku dengan begitu tenangnya.
Aku hanyalah latar buram.
~ ~ ~
Aku mungkin pernah merasakan cinta.
Sangat lama jika aku mengenal satu
demi satu kata yang diajarkan padaku. Tapi begitu singkat dibandingkan seberapa
jauh aku menapak kisah hidup yang tak lama lagi akan tergulung rapi.
Mungkin aku hanya ingin menangis.
Namun bumbu-bumbu nikotin membuatku
membeku akan semua sensitivitas yang aku rasai akhir-akhir ini. Yang mungkin
hanya bisa kulakukan hanya menyepi dalam curuk-curuk yang kelak tak lagi
berarti.
Aku tak tahu ingin menulis apa.
Tetapi aku ingin kekosongan ini
dapat diisi dengan baik. Sekalipun terkadang tidak bermutu. Atau dianggap
sampah.
Aku tidak punya alasan kuat mengapa
aku menulis saat ini. Sejujurnya aku hanya ingin menangis.
Menangisi waktu yang tidak berpihak.
Menangisi kebodohan.
Tanpa bisa menyongsong apapun dari
masa yang akan datang.
Bagi mereka, aku hanyalah si tua
yang kehabisan waktu.
~ ~ ~
Ketika seseorang selalu menemukan
cinta dengan cara terkotor sekalipun.
Apa salahnya.
Aku masih tidak paham kebahagiaan.
~ ~ ~
Aku ingin dikasihi, bukan
dikasihani. Tetapi terkadang aku tahu, aku hanya ingin diperhatikan. Oleh
seseorang yang bisa menganggap aku poros hidupnya. Oleh seseorang yang tiada
lengkap tanpa hadirnya orang lain di hidupnya. Tidak perlu orang yang begitu
sempurna.
Aku tak bisa melekat pada
kesempurnaan orang lain, karena aku hanya akan mengganggunya.
Aku pun tak pernah bisa melengkapi
orang lain karena aku bukanlah alat pelengkap, pun tak punya kapasitas untuk
saling menyeret ke dalam dunia kotor yang tidak kupahami maknanya.
Aku haus.
Rindu menjelajah. Rindu wajah-wajah
jelek yang pucat.
Rindu bau angin dan
daun-daun basah. Rindu bau tanah lembab yang hanya menjawab kesunyian. Aku
rindu kelelahan.
Aku rindu berlelah-lelah.
Jika tidak lelah, hidupku penat.
Semakin tak kusadari artinya.
Aku tak sanggup lagi menguraikan
satu demi satu dogma yang kupancangkan sendiri dalam hidup ini. Ketika semuanya
jauh lebih dalam, dalam, dan menjadi dalam.
Aku rindu rasa
dingin yang membekap.
Rindu rasa hangat yang membungkus
dalam kerinduan, dalam kehangatan akan rumah.
Rumah.
Andai saja bayang rumah bisa kuubah
menjadi sebuah gubuk penuh kehangatan. Tetapi bayang rumah bagiku tetap sama
hingga bertahun-tahun kini.
Sebuah cahaya lampu nun di ujung
sana. Berkelap-kelip melambai, menyalamiku pada hangatnya tempat tidur.
Merestuiku menyerah dengan cara yang semestinya. Menghalalkanku menangis dan
menjerit dalam ketak-apaan. Aku hanyalah butir pasir di tempat orang-orang
tertinggi sekalipun.
~ ~ ~
Terkadang aku suka mendengarkan lagu
yang tak kumengerti.
Menikmati betapa lolongan-lolongan
itu menyayat dari bagaimana suara itu membawakannya, tanpa peduli artinya. Masa
bodoh dengan orangnya.
Aku kagum dengan orang yang jatuh
cinta dengan sederhana.
Pada ketaksempurnaan.
~ ~ ~
Aku ingat melakukan banyak hal yang
tak kumengerti.
Tanpa mau tahu apa,
kenapa, mengapa.
Aku senantiasa lupa, kapan terakhir
kali menangis. Sehingga permakluman itu kembalilah terwujud. Merintangiku
dengan segala asanya. Mengingatkanku bahwa aku pun tak pantas bahagia.
Dalam waktu tertentu, terkadang aku
hanya ingin sekedar ada, atau tiada. Namun merengkuh halusnya tangan orang
lain. Atau kasarnya gurat nadi mereka. Dalam dini hari yang membungkusku rapat,
senja seolah menjadi begitu dekat. Tanpa aku tahu tiada satupun yang mungkin
mau peduli. Setidaknya mengindahkan.
~ ~ ~
Comments
Post a Comment