Big Hole: The Failed Kumbolo
Hello. Tepat saat saya memulai kata-kata demi kata untuk posting ini, jam di laptop saya menunjukkan waktu tepat pukul 12.00, tertanggal 19 Januari 2014.
Kenapa saya memulai dengan waktu? Karena saya baru sadar pengaturan waktu di blog saya kacau. Ditambah lagi kebiasaan saya untuk memposting berondongan semua tulisan (atau apapun itu) dalam kurun waktu yang sama sehingga interval antar pos bisa sangat berdekatan atau bahkan berjauhan padahal saat saya merasa teratur menulis di laptop. Hanya saja, ini masalah posting.. (adakah yang mau tahu?) haha.
Sudah seminggu saya di rumah. Maksud saya di Probolinggo.
Seminggu yang lalu saya ‘terpaksa’ pulang karena ada acara disnatalis yang tak bisa diganggu gugat, plus kedatangan sahabat-sahabat saya dari berbagai macam kegiatan mereka. Mulai dari yang kuliah sampai pendidikan. Akhirnya semua bisa berkumpul, walaupun nggak lengkap. Sedih deh, geng warung kopi kami kurang semarak rasanya. Hehe.
Jadilah saya menumpangi KA. Logawa pukul 09.00 dan tiba di Probolinggo pukul 19.00.
Sebenarnya ujian semester saya sudah berakhir sejak tanggal 9. Tetapi tanggal 10 teman-teman mengajak saya ke Pantai Indrayanti untuk ‘pembukaan liburan’ massal. Akhirnya dengan 10 motor, kalau nggak salah, kami berangkat berombongan ke sana. Cukup jauh. Hampir dua setengah jam kami di jalanan lantaran sempet-sempetnya pula kesasar -.-
Tetapi tidak mengecewakan. Cuaca yang saya khawatirkan mendung karena Jogja sedang muram, ternyata berubah cerah dan panas di pantai. Nggak peduli hitam, saya jingkrak-jingkrak. Hehe. Ngapain dong, ke pantai kalau mendung? Selain nggak bisa ’manas’, foto yang dihasilkan saat mendung kebanyakan mati. Apalagi warna laut kan adalah pantulan warna langit. Dan seperti kebiasaan saya, sebelum saya menunaikan hajat untuk bersenang-senang (alias berbasah-basahan) di pantai, saya akan berfoto sepuasnya. Barulah setelah itu, keringat dan air laut tak bisa dibedakan lagi.
Keinginan saya yang juga terwujud adalah merayakan ulang tahun almarhumah Mama dengan ke pantai. Hari itu tuntas sudah. Saya lega.
Nah, kembali ke acara disnatalis. Di stasiun saya dijemput Rijal. Ah, kangen sekali. Walau nyaris tak ada yang berubah dari sahabat karib saya itu, tetapi saat melihat wajahnya yang menunduk memandangi ponsel di pintu keluar stasiun membuat saya lega. Entah kenapa. Beban berat seolah terangkat walau saat itu jelas-jelas saya bawa satu tas penuh pakaian dan satu tas ransel (kata Ranti kaya’ orang mau jualan). Kami pun makan pecel, baru kemudian langsung ke rumah. Di rumah saya disambut Bunda dan adik-adik. Ayah sedang ke Jakarta.
Saya langsung berberes-beres seadanya dan mandi. Usai mandi, barulah saya dan Rijal berangkat ke sekolah. Kami tiba pukul 8 lebih. Acara sudah berlangsung. Dan seperti dugaan saya, tentu saja molor. Saya pribadi tidak pernah merasa sedih untuk melewatkan acara inti yaitu potong tumpeng untuk merayakan ulang tahun organisasi pencinta alam di sekolah saya yang sudah menginjak tahun ke-28.
Banyak wajah-wajah asing yang saya lihat seliweran memakai scraft. Tentu saja. Selain karena mereka angkatan baru (mana mau angkatan lama pakai scraft kalau nggak disuruh -,-), saya juga tidak sempat datang saat diksar beberapa waktu lalu. Mereka juga tampak asing dengan saya. Saya sok kenal aja minta sendok untuk makan ice cream dapet dikasih. Haha.
Saya nggak begitu ngeh dengan acaranya, karena sibuk peluk sana-sini. Hiks. Kangen banget. Enam bulan nggak ketemu karena saat saya pulang tiga bulan yang lalu, kebanyakan tidak ada di Probolinggo dan saya juga sebentar sekali di rumah. Juga saling nostalgia sambil saling mengomentari. Walaupun kebanyakan cowok (jelas aja, dari angkatan saya ceweknya hanya saya yang datang dan angkatan di bawah saya semuanya cowok!), alur pembicaraan tak jauh-jauh dari “iteman”, “gendutan”, “gagahan” dan lain sebagainya. Dasar. Mungkin itu memang stereotype orang kita yang nggak bisa tahan untuk tidak berbasa-basi. Yang jelas acaranya lancar dan kami menikmatinya sambil ngobrol kesana-kemari.
Acara itu berlanjut seperti saya duga, game brutal yang selalu membuat saya kebat-kebit tiga tahun terakhir. Untunglah gerimis deras, jadi ada alasan saya untuk tidak ikut. Saya tidak mau berakhir dalam medan pertempuran itu (-,-“)
Besoknya semua melaksanakan tanam seribu pohon. Acara seremonial aja sih sebenarnya. Barulah saya bisa menghempaskan tubuh saya di kasur rumah yang jadi berkali-kali lipat empuknya.
Hari-hari saya akhir-akhir ini saya habiskan dengan berjalan-jalan. Rika yang tiba-tiba ke rumah sepulang dari Malang. Lalu kami jalan-jalan (shopping, ding). Di hari ulang tahun saya hunting foto bareng Dyah dan David di Beejay Bakau Resort. Dulu sebenarnya pernah sih, hanya saja kami nggak menemukan spot lain yang lebih dekat dan terjangkau. Haha. Usai itu kami makan bebek dan ayam goreng di rumah Dyah. Besoknya saya digeret Dyah untuk menemaninya ke Bromo dalam rangka menemani teman-teman sejurusannya yang berkunjung jauh-jauh dari Jember. Dasar sial, di sana kami malah dicekik suhu belasan derajat. Tetapi begonya kami juga turun ke Segara Wedi dan muncak ke kawah Bromo malah dengan pakaian basah kuyup.
Tapi jelas mengesankanlah daripada berdiam diri di rumah, kan.
Besoknya saya istirahat di rumah.
Dan di sanalah semua kekonyolan ini berasal.
~ ~ ~
Lagi tiduran. Saya termenung-menung sendirian. Tiba-tiba saya pengin ke Ranu Kumbolo. Nggak tanggung-tanggung. Sesegera mungkin.
Saya langsung cari orang yang bisa digeret secepat mungkin. Dan untunglah Tuhan ada Rijal. Saya langsung BBM dia. Dan dia juga langsung menyanggupi. Mungkin saat itu kebutuhan kami akan kegilaan lebih besar daripada kewarasan.
Siang itu juga kami capcus ke PMI untuk bikin surat keterangan sehat. Walaupun sempat dikepo-kepoin sama mas-masnya, toh surat lancar. Lagi-lagi saya terbelalak. Kali ini melihat berat badan saya... *lupakan.
Besoknya, kami beneran berangkat. Pukul 07.00 pagi berangkat dan ambil perlengkapan yang kurang ke tempat adik kelas. Belanja makanan dan minuman. Dan langsung berangkat. Konyolnya perjalanan via Probolinggo itu diwarnai dengan lupa fotokopi KTP dan bawa materai sebagai dokumen kelengkapan perjalanan. Grusah-grusuh akhirnya dapat, kami meneruskan perjalanan.
Yihaaa, saya ke Bromo lagi. Nggak ada bosan-bosannya. Selalu memukau dan mempesona. Dan yang lebih girang lagi karena saya baru sadar teman-teman saya berasal dari daerah-daerah yang cukup jauh sehingga untuk ke Bromo yang terkenal pun mereka belum sempat. Hehehe.
Kami melintasi lautan pasir dengan segenap keberanian. Ramai, seperti biasa. Apalagi saat itu kan, weekend.
Perjalanan dari Bromo ke Ranu Pani diwarnai jalan yang rusak. Untunglah di pertigaan perbatasan, jalan sudah diperbaiki dan kami meneruskan jalan tanpa sekalipun saya harus turun dari motor. Terima kasih, Tuhan.
Saat akan memasuki Ranu Pani, saya tiba-tiba iseng menekan tombol video dan mendokumentasikan perjalanan itu walaupun sepotong-sepotong saja. Sinyal beneran mampus di tempat itu. Dan keheranan atau kekonyolan kami menyeruak saat tiba di Resor Ranu Pani tempat biasa mendaftar untuk registrasi memasuki jalur pendakian. Sumpah, itu Ranu Pani sangat sangat sangat sepi.
Motor hanya ada beberapa, itupun mungkin milik penduduk sekitar. Saat berjalan ke loket tanpa kecurigaan kami memanggil-manggil petugas. Sampai Rijal tanpa dosa menunjuk plakat yang ditempel berisi pengumuman kalau jalur pendakian Semeru, berikut Ranu Kumbolo ditutup sampai batas waktu yang belum ditentukan.
Jedeerrr! Bagai disambar geledek.
Petugasnya juga enteng banget bilang, ”emang nggak lihat website-nya?”
Begonya saya dan Rijal menggeleng.
Bego.
Bego.
Bego.
Perlu berapa kata lagi untuk menjelaskan kejadian itu super duper memalukan dan konyol?
Akhirnya kami sepakat untuk makan dulu dan kesialan berikutnya terjadi. Warung-warung itu tutup. Di musim hujan saat pendakian di tutup begini, bagi mereka tidak ada alasan untuk membuka warung karena tidak adanya pendaki sebagai target pasar utama mereka.
Setelah berpikir panjang lebar, akhirnya saya dan Rijal melangkahkan kaki ke Ranu Regulo, yang hanya 10-15 menit dari Ranu Pani. Dengan jalan paving yang dihiasi tanaman-tanaman belukar yang basah, kami berjalan sambil mentertawai kekonyolan kami yang sumpah sangat sangat nggak lucu itu. Kami sudah naik motor 2,5 jam demi Ranu Kumbolo tetapi?
Ah, sudahlah..
Di Ranu Regulo kami gila-gilaan aja, bikin video dokumenter sambil ketawa-ketiwi nggak jelas. Melihat ada sebuah tenda berdiri di tepi Regulo kami berusaha meyakinkan diri kalau memang yang bego nggak hanya kami. Belum lagi ada sekelompok orang yang bawa carrier gede banget dan tampak membuangi persediaan air. Aih, walaupun jahat, kami berharap nggak hanya kami yang kecele.
Ranu Regulo seperti biasa, sepi. Kami berjalan menyusuri tepian danau ke sebuah gubuk yang sudah rusak lantainya. Di sana kami menggelar matras dan mulai masak. Saya mengeluarkan semua snack saya. Kami duduk-duduk dengan tenang.
Kekecewaaan terobati lambat laun saat gerimis mulai menerpa dan angin bergulung seolah menulikan telinga. Padahal itu hanya di Ranu Regulo.
Kami tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau beneran ke Ranu Kumbolo saat badai begitu.
Kami ngobrol seputaran film, lagu, dan tentu saja objek yang sangat klasik tapi tidak basi untuk dibahas di titik dingin seperti itu adalah cinta.
Bukan cinta sih. Asmara. Apa, ya? Hm. Yang jelas membicarakan ‘kamu’-nya Rijal dan ‘kamu’-nya saya. Lebih diperjelas lagi ‘pernah kamu’-nya masing-masing kami.
Saya rasa tidak ada yang bisa diucapkan dari obrolan kami saat itu. Saya sekedar ’menguliti’ perasaan saya sendiri di depan seorang sahabat. Saya sekedar merumuskan apa yang saya rasakan dengan jalan sesederhana mungkin. Sekedar mengingatkan kalau saya hanya menjalani apa yang ingin saya jalani. Apa yang ingin saya jalani. Tanpa pernah peduli saya harus bahagia di sana, tanpa pernah peduli sebanyak apa air mata yang saya lalui di sana.
Saya rasa, cerpen ’Peluk’-nya Dee berikut lagunya feat Aqi Alexa itu adalah media paling sederhana yang bisa menjelaskan apa yang saya rasakan. Segelintir apa yang saya rasakan mengenai dia yang pernah ada dalam wujud yang berbeda.
”Yang jelas, saya nggak mau bertemu dia. Karena kalau kami bertemu, saya tahu yang akan terjadi adalah lomba ’siapa-yang-lebih-baik-tanpa-siapa’. Bukan saya nggak siap. Buat saya itu norak. ’Saya lebih baik tanpa kamu, kamu nggak perlu tahu. Begitupun kamu. Kalau kita sudah berpisah, buat apa saya menunjukkan saya baik-baik saja? Biarlah saya sakit seperti kita yang saling meninggalkan, tanpa kita mau tahu. Tanpa kita mau mengerti perasaan satu sama lain. Dan biarlah saya bangkit seperti kita yang bertemu secara tidak sengaja, dewasa, dan elegan. Tanpa perlu kamu tahu bagaimana dan kapan kebangkitannya’.”
Sama seperti Rijal, saya ada pada titik tidak peduli dengan apapun anggapannya tentang saya.
Entah saya yang dikatai mendua, berpaling, mencampakkan. Apalah. Saya kira dia sudah dewasa untuk memahami. Dan kadang setiap orang hanya mengungkapkan apa yang baik bagi dia untuk diketahui orang. Kalaupun ada setitik rasa yang tertinggal buat saya, bagi dia sudah saatnya dijebloskan ke masa lalunya.
Sama seperti saya.
Terkadang bagi saya dia hanya baik bagi saya saat dia bersama saya. Dan biarlah saat itu jadi kenangan. Yang suatu saat akan bisa kita kenang sambil tersenyum. Kendati saya sudah menggenggam tangan lelaki lain, diapun sudah meminta jemari gadis lain.
Kini saya baru tahu, perpisahan itu memang tidak melulu tentang kita. Tentang dua orang yang menjalin hubungan. Perpisahan itu tentang menyembuhkan tanpa melupakan. Ada waktu di mana orang yang menyebabkan luka di hati kita bukanlah orang yang bisa menyembuhkannya. Saya pun memilih percaya itu.
Perpisahan itu mungkin saling melukai. Tapi lebih baik daripada bertahan dengan sama-sama melukai diri sendiri. Saya senang dia menganggap saya seburuk mungkin.
Kelak, dia akan benci saya seperti ia benci mantannya. Ia akan menjaga kebaikannya pada saya seperti dia menjaga dirinya di depan mantannya. Kebencian itu memang tidak menyembuhkan. Tetapi membantu melupakan.
~ ~ ~
Kami menyudahi obrolan kami di Ranu Regulo dan membereskan semua perlengkapan. Kemudian bergegas pergi. Di Ranu Pani kami dihadang hujan. Sempat was-was juga karena si bapak petugas mengatakan hujan sederas itu bisa awet hingga esok. Eh nyatanya setengah jam kemudian hujan reda dan kami pun bergegas pergi dari tempat yang membuat kami menelanjangi kewarasan kami itu.
Kami memantapkan jalan untuk pulang via Tumpang yang belum pernah kami lalui.
Sialnya seperti biasa, sehabis hujan selalu datang kabut. Pekat, hingga lautan pasir pun tak kelihatan dari atas bukit tempat kami mengendarai motor. Ngomong-ngomong, saya suka sekali spot itu. Jalan menuju Ranu Pani itu benar-benar di atas bukit yang mengelilingi Segara Wedi sehingga tidak ada apa-apa di sekitar kami selain jalan lurus, beberapa pepohonan.
Dingin. Ketinggian. Pohon. Kamu. Kita.
Sesampainya di ’bawah’, kami sempatkan diri mengisi perut yang kosong dengan sate kelinci. Setengah ngeri memakannya, abisnya saya ingat almarhum kelinci saya Imoy _
Barulah kami capcuss pulang ke Probolinggo.
Tiba di rumah pukul setengah 8, Rijal numpang tiduran. Saya ngedit foto dan lanjut mandi. Barulah Rijal pulang karena besok harus ke Surabaya.
Ah, terima kasih sebesar-besarnya buat dia.
Sejujurnya.. saya terkadang baru bisa mempercayai seseorang setelah melalui banyak hal bersamanya. Terutama perjalanan. Kebanyakan orang yang jadi sahabat terdekat ataupun orang yang nggak pernah pergi dari sisi saya adalah orang-orang yang telah menemani saya berpergian.
Entah.
Mungkin lewat perjalanan itu saya menemukan sosok orang itu dalam diri yang baru tanpa saya duga sebelumnya.
~ ~ ~
Sungguh, ini hanyalah trip sederhana yang kocak plus bego kuadrat lantaran kekurang-update-an kami. Plus kekonyolan akibat keinginan menggebu untuk mencumbu dataran Oro-Oro Ombo.
FYI : Jalur pendakian Gn. Semeru dan Ranu Kumbolo baru dibuka Mei. Dan SAYA HARUS KE SANA.
hahaha *ketawa keras*
ReplyDeleteAyo..mei, berangkat ?