In Memoriam
Entah kenapa, malam ini aku
membiarkan diriku larut.
Setidaknya sekali lagi.
Di tahun yang baru.
Mungkin karena besok Mama berulang tahun. Entah yang keberapa. Aku tidak
mau membuang waktu untuk sekedar menghitungnya.
Malam ini, aku kembali mempertanyakan
alasan kehadiranku di tempat ini.
Alasan mengapa aku ada, hidup, dan
bernafas.
Alasan
mengapa aku ada di Jember, Probolinggo, atau Jogjakarta.
Aku
seperti menghitung balok-balok yang semakin lama semakin tidak terlihat
wujudnya. Meratapi sesuatu yang tidak ada.
Dan
sadar, aku tidak pernah berhenti bertanya-tanya.
Dan
semakin lama, semua tanya itu bukan terjawab, tetapi semakin menyesak di sepi
yang melesak dalam ruang sempit di tempat yang seolah tak berujung ini.
Terkadang ada pertanyaan yang terjawab dengan sendirinya. Tetapi yang lain,
lebih tak berguna lagi dari sekedar akar yang menggantung. Di pohon beringin
tempatku mengenyam masa sekolah dasar.
Aku
tak mungkin hanya sekedar ada. Tetapi aku juga belum begitu berarti untuk
sekedar dianggap ada.
Aku
ingin terus mempertanyakan hal-hal yang selama ini menjadi ketakutanku. Aku
ingin terus mengulang setiap kerinduan yang semakin lama semakin nyata terasa.
Tetapi apakah itu ada?
Sama
seperti perasaan ini, aku seolah melebur dalam bayangan yang semestinya tidak
ada. Ketakutan karena kesendirian dan merasa dicurangi oleh nasib. Takdir yang
membawaku ke sini bukanlah takdir yang memanggilku untuk pulang. Aku seolah ada
dalam hal-hal yang membuatku mengantuk.
Ada
begitu jauh dari rumah. Menyesapi belaian ketidakramahan di tempat yang baru.
Mengecap, harum dan manis segala pembaharuan.
Seperti
buku baru, mataku terpejam membaui wanginya. Tapi aku sadar, buku lamaku belum
juga tuntas untuk ditutup.
Aku
ingin terjaga. Hingga nanti tiba waktunya hari ulang tahun Mama.
~ ~ ~
Sudah
enam atau tujuh tahun berlalu mungkin sejak terakhir kali aku melihat Mamaku.
Bukan
Mama kandung, memang. Ibu
kandungku masih ada, sehat hingga saat ini.
Mengurusi dua adik tiriku di rumah.
Tetapi
Mama-lah yang mengajariku mengeja nama, mengenalkanku pada dunia. Dan
mengenalkan dunia padaku. Mama yang menjagaku di masa kanak-kanakku. Membawaku
ke mana saja ia mau.
Mama
bagiku yang memaksa Ayah membuatkan papan tulis dari papan bekas yang
dihaluskan dan kemudian dicat hitam pekat. Mama bagiku yang meminta Ayah
membawakan kapur dari sekolah tempatnya mengajar untukku belajar menulis di
rumah.
Mama
yang memelukku setiap hari. Menggendongku saat aku sakit padahal aku sudah
memasuki masa kanak-kanakku. Mama yang mengajariku kata ’ibu’ tanpa
berkata-kata.
Mama bagiku yang mengenalkanku keluarga
dengan keras. Bahwa baginya keluarga adalah segalanya. Mama bagiku yang akan
membuatkanku susu setiap aku memintanya.
Mama
yang membuatku begitu menyayanginya, mencintainya hingga tahun-tahun terakhir
dalam hidupku, tanpa pernah mengajari.
Mama
yang masih menjadi ibu terkasih saat ia pergi untuk selama-lamanya. Mama yang
tetap menjadi ibu bahkan di saat tumor memberangus semua kegiatannya.
Menjadikan rumah begitu kosong seperginya.
Mama
bagiku adalah wanita yang mengipasiku semalaman penuh saat listrik padam.
Menghalau panas dan nyamuk dari putri bungsunya.
Saat
aku ditanya apakah aku ingin terlahir kembali, aku akan menjawab ’iya.’
Aku
ingin terlahir kembali sebagai putri bungsu Mamaku. Anak keempat dari empat
bersaudara. Dengan Kak Tua, Kak Muda, dan Mas Iwan. Kakak-kakak dengan selisih
umur yang begitu jauh dariku. Dengan seorang ayah yang keras, kolot, tetapi
begitu mencintai isterinya.
~ ~ ~
Di
tahun-tahun terakhir Mamaku, aku seolah ditakdirkan untuk jadi putri yang
terkutuk.
Tumor
itu dengan cepat tumbuh dan berkembang di leher Mama. Kelenjar getah bening,
dokter bilang. Tumor itu yang menyedot seluruh energinya, hingga banyak
menghabiskan waktu di rumah untuk beristirahat. Menghentikan sejenak segala
aktivitas Mama yang cukup padat.
Saat itu aku masih kelas 5 SD. Dan selama
beberapa saat sosok Mama absen dalam hidupku. Ia mulai disibukkan dengan
berobat ke sana ke mari. Tanpa aku tahu bagaimana.
Setiap
kali aku menemani atau menjenguk Mama di tempat berobat, setengah diriku
mengantuk karena bosan. Aku selalu menolak saat diminta tinggal. Bagiku
berdekatan dengan Mama tak lagi menyenangkan seperti dulu. Ada rasa takut yang
timbul dalam jiwa kanak-kanakku. Dan menghantuiku hingga kini.
Hingga
detik ini, aku begitu sadar betapa kasihannya Mamaku saat itu.
Aku
tak bisa membayangkan perasaannya saat putri bungsu yang amat disayanginya
menolak untuk tinggal dan berlama-lama dalam dekapannya. Padahal saat itu ia amat-amat kesakitan. Aku bahkan bisa melihat hanya dengan
mendekati kamar tempatnya tidur.
Yang
tak pernah kulupakan adalah saat datang pasien baru yang berniat menyewa kamar
di tempat Ayah dan Mamaku tinggal ketika berobat alternatif. Tapi semua kamar
di rumah yang tak begitu besar itu sudah habis disewakan. Mama jatuh kasihan
pada pasien itu dan memilih mengalah. Mama memberikan kamarnya dan ia memilih
tinggal di sebuah bilik sempit. Aku ingat saat itu aku makin tak kerasan berlama-lama mengunjungi Mamaku.
Padahal
semua orang memaksaku. Aku tidak mengerti. Saat itu aku berfikir tumor hanyalah
sakit biasa. Yang akan segera sembuh, seperti orang-orang yang tampak di
pamflet dan selebaran tempat berobat alternatif Mama. Dan Mamaku akan menjalani
hidupnya seperti sedia kala.
Hingga aku mendapat jawabannya saat ini.
Karena
mereka tahu, setiap saat bisa saja menjadi saat terakhir Mamaku dan alangkah
baiknya jika aku mau berbahagia menghabiskan banyak waktu dengannya.
Kini,
waktu-waktu yang bagiku terasa sangat membosankan itu menjadi waktu yang paling
kusesali. Setidaknya aku ingin tinggal, seharusnya aku mengenyahkan segala rasa
jijik dan takutku dan menemaninya.
Mamaku
tak pernah menyerah akan sakitnya. Kendatipun ia pulang dari berbagai tempat
berobat dengan tangan kosong, ia pulang dengan semangat bahwa ia akan membaik.
Setidaknya itu yang kupercaya terjadi. Karena tak pernah Mamaku berpangku
tangan kecuali di saat-saat ia benar-benar tak bisa bergerak.
Saat
itulah sanak saudara silih berganti datang. Memberikan semangat. Memeluk tubuh
Mama yang menjadi kurus karena tumor. Membisikkan kata-kata yang hingga detik
ini tak kuketahui ke telinga Mama yang sudah tak bisa berucap dengan jelas.
Aku, terkadang ada, saat diminta, memijat-mijat kaki Mamaku.
Yang
begitu menyedihkan bagiku adalah saat ayah, kakak-kakak, atau saudaraku
mengatakan padaku untuk mendekati Mamaku. Mereka berkata seolah mereka bisa
melihat betapa Mamaku menginginkanku ada untuk dipeluk tanpa berkata-kata,
tetapi aku bahkan tak menyadarinya. Aku akan beringsut mendekat, dengan
takut-takut dan hati-hati dan memeluknya enggan.
Walau
aku sadar, saat itu tak mungkin terulang lagi.
Hingga
tiba di hari penghukumanku. Tiba-tiba entah kenapa Mama dipindahkan ke ruang
tengah yang lebih luas dari kamarnya. Ia dibaringkan di tempat tidur dan
dikelilingi saudara-saudara kami. Suasana terasa begitu sibuk.
Yang
aku tahu hanya satu, Mamaku akan pergi meninggalkanku.
Kau
tahu, aku begitu marah. Aku bahkan tak mau menemuinya. Aku berlari dan menangis
di kamar kakak. Aku tak mau sedikitpun melihatnya. Aku begitu membencinya. Aku
tak ingin dia pergi.
Kemudian
sahabat kecilku, Latifah, menepuk bahuku. Memberikan Al Quran kecil ke pangkuanku. Ia
berkata dengan lembut, bahwa sebaiknya aku keluar dan menemui Mamaku. Beliau
sangat ingin bertemu denganku.
Bagiku,
butuh waktu bermenit-menit sebelum akhirnya aku memberanikan diri keluar.
Saat itu seisi ruangan sudah basah oleh
air mata. Aku mendekati
tempat tidur Mamaku dengan perlahan, semua orang minggir. Memberikan jalan agar
aku leluasa mendekati Mamaku.
Saat
itu aku tahu penderitaanku tak sebanding dengan apa yang dirasakannya. Ia
seperti tertidur, tapi tampak sangat tersiksa. Matanya begitu berat terkatup.
Aku tahu ia tak ingin tertidur. Ia ingin melihatku. Ia masih ingin melihat
anak-anaknya.
Aku
diam sambil menggenggam tangannya. Mama menggenggam tanganku balik. Aku tahu ia
ingin berjuang. Ia masih ingin bertahan untuk menyaksikanku tumbuh dan
berkembang. Ia masih ingin ada untuk menerima raporku. Ia masih ingin
menyaksikanku memegang piagam yang selalu langganan setiap tahunnya. Ia masih
ingin memelukku..
Seorang dari kakakku membisikkan kata-kata
yang seharusnya kuucapkan saat itu. Setengah kelu aku menurut. Meminta maaf,
mengikhlaskan kepergian Mama. Tuhan, tanpa pernah aku tahu hal itu merupakan
hal tersulit dalam hidupku hingga saat ini.
Mama hanya mengerang dengan mulut setengah
terbuka. Aku menciumnya, membanjiri wajahnya dengan air mata.
Kemudian orang-orang lain silih berganti
meminta maaf pada Mama. Hingga siang beranjak, aku tak berhenti menangis.
Hingga
akhirnya kakakku membawaku ke dapur yang kosong. Dari sana aku masih bisa
melihat pemandangan menyesakkan itu. Kakakku memasakkan telur, membubuhkan
kecap di nasi putih sebagai teman, karena tak ada lagi yang sempat berpikir
untuk memasak saat itu.
Saat
aku tengah mengunyah, terdengar jerit tangis dari ruang keluarga. Aku hanya
bisa berlari, dan melihat orang-orang menangis memeluk tubuh Mamaku. Aku masih
tak bisa melihat wajahnya, tapi aku tahu, Mamaku tak lagi bernafas. Ia
menyerah.
Dan
kakiku lemas.
Aku
merasa dunia berhenti berputar. Suara-suara entah dari mana berdesing di
sekitarku.
~ ~ ~
Butuh
waktu berhari-hari bagiku untuk benar-benar bangkit dari tempat tidur.
Butuh
waktu berbulan-bulan bagiku untuk melupakan kejadian pahit itu.
Butuh
waktu bertahun-tahun entah sampai kapan aku akan berhenti menangis
mengingatnya.
Bagiku,
kepergian Mamaku adalah karma karena sikap burukku. Sebuah media penghajaran
yang tepat bagi si manja yang tak pernah lepas dari pelukan Mama.
Lantas
bersamaan dengan kepergian Mamaku, semua kenyataan demi kenyataan pahit dalam
hidupku terungkap. Dan begitulah, semua berlangsung begitu saja tanpa aku bisa
menjelaskan.
Butuh berliter-liter air mata untuk
sekedar menuliskan ini. Apalagi menuliskan segalanya. Aku tidak sebodoh itu,
tidak sefrustasi itu.
Yang
aku ingat adalah, jika saja aku tidak berbuat buruk saat itu, mungkin Mamaku
masih ada di sini. Mungkin Mamaku yang akan menemaniku di sini. Keluarga kami
tak mungkin terpecah belah seperti sekarang. Aku tak akan pernah kebingungan
menghabiskan liburan dan semua takkan jadi serumit ini.
Yang
aku tahu adalah cinta dalam hidupku adalah Mamaku. Kepergiannya menyesakkan bahkan saat aku tidur. Tanpanya,
rumahku hanyalah gubuk reyot yang kehabisan waktu. Kehabisan kenangan.
Tanpanya,
tak ada keharusan bagiku mengenal seluruh anggota keluarga dan sanak saudara
kami.
Cinta
bagiku adalah ia yang mencintaiku tanpa mengajari. Cinta bagiku ada tanpa perlu
dimaksudkan. Dan Mamaku, yang justru memberikannya tanpa mengajari. Mencintai
dengan memberi, tanpa mengatakan. Memaafkan dengan ketulusan.
Mama
yang setia. Pernah marah tapi selalu merindu. Hingga detik ini, figurnya tak tergantikan.
Mamaku,
adalah segala definisi cinta dalam hidupku.
~ ~ ~
Comments
Post a Comment