For God's Sake


            You know, I don’t hope to be the best.
            No, I’m lied.
            Haha.
            Sekian lama meninggalkan program kesayangan ini akhirnya jatuh lagi ke Ms.Word yang masih saja 2003. It’s actually out of date. Banyak post yang menumpuk, menunggu untuk diposting dan saya hanya bisa meratapinya.
            Saya masih belum bisa mempostingnya. Bukan karena tidak punya waktu, sesungguhnya sekarang saya pengangguran terselubung. Bukankah itu mahasiswa?
            Now, I’m actually comin’ to my college.
            How that feels?
            Particularly, attractive. Can’t found another because my job just attend one meeting in one day, and than go for walk back to my new room. Than letting my laptop go ahead me. This crazy.
            Without anyone that called family by blood.
            Untungnya masih ada EXO (sarangaa oppa!) yang masih menemani. Dan Lie To Me yang sebenarnya jadi inspirasi di kalimat pertama saat membuka posting kali ini.
            Sebenarnya saya sedang menumpahkan sedikit kegilaan sebelum saya cenderung benar-benar terseret pada hal-hal yang berbau hedonis dan maniak akan satu hal. Seperti yang saya alami saat ini, EXO. This boyband is drive me crazy, for God sake. Juga sedang tidak mood baca buku karena saya lebih cenderung suka menyalahkan suasana kamar yang tidak begitu mendukung karena masih harus beradaptasi lebih lama lagi dari yang saya duga sebelumnya (sejujurnya saya tidak pernah menduga akan menghadapi saat-saat seperti ini, jadi semuanya terasa jauh lebih sulit). Jadi saya terpaksa membiarkan diri saya tergila-gila pada 12 lelaki tampan yang setiap hari menghiasi layar laptop saya. Demi Tuhan, saya ingin mencurahkan ini kepada seseorang dan bertanya apakah ini sehat?
            Tapi apa yang terjadi?
            Kesulitan beradaptasi yang baru kali ini saya alami karena sejujurnya saya merasa tidak bisa menjadi teman yang asyik untuk diajak main dan seru-seruan. Sejujurnya saya tidak tahu apa yang sedang dipikirkan teman yang saat itu sedang duduk di sekitar saya. Apakah saya ini seorang yang nerd? Weird?
            Perbedaan sense of humor juga yang paling mendasar karena saya dan teman-teman baru saya kali ini hadir dari seluruh penjuru tanah air di mana guyonan itu menjadi suatu ciri khas dan identitas. Dan bagi saya juga merupakan indikator asal-asalan mengenai seberapa lama sebuah hubungan berjalan. Saya merasakan beberapa tahap adaptasi sebelum apa yang saya terima bisa saya apresiasikan ke dalam hidup sehari-hari.
            Sebutlah, tentang kelucuan seseorang. Dulu saya terbiasa tertawa untuk banyak hal yang bagi orang lain nggak lucu. Serius. Tapi saya tidak pernah mempedulikan itu karena saat SMA (kelas X waktu itu) adalah saat saya melihat orang lain sebagai go-to-the-hell jika Anda juga tidak peduli pada saya. Cuek, sesuai dengan prinsip dan kelabilan yang saya bawa sejak SMP, kemudian akhirnya berpisah dengan teman-teman klop SMP kemudian menjalin pertemanan yang akrab dengan sekelompok remaja labil (Ha ha) yang kemudian jadi partner in crime. Sungguh, sebenarnya saya ingin menyalahkan kelas saya karena saya tepat masuk kelas keramat XE waktu kelas X tapi saya nggak mau ada seseorang yang membaca ini seperti sebuah riset untuk Dr. Cal Lightman. Oke, ini melantur.
            Kelas XI, saat saya mulai stuck di OSIS gara-gara ada masalah dengan sahabat-sahabat dan ekstrakulikuler, plus seorang pacar yang juga aktif di organisasi itu, saya perlahan-lahan mengenal teman-teman OSIS saya. Saat kelas X saya memang dikenal pendiam di OSIS. Saya nggak punya teman di sana, kebanyakan teman lain yang kenalnya juga ngasal lucu-lucuan (yang paling saya ingat adalah Ekky dan Bramantio, yang selalu lewat kelas kalau mau ke kantin belakang dan minjem duit – bayangkan, ini baru kenal – dan hingga saat ini nggak pernah terhitung :D) juga profesi bertahan saya sebagai sekretaris OSIS di mana saat rapat (saat paling efisien dan efektif untuk mengenal pengurus OSIS lain) harus sibuk mencatat notulen. Selalu duduk depan supaya dengar ucapan koordinator dan amanat kepala sekolah, serta kritik dan saran bahkan pemecahan saat rapat evaluasi. Jadi saya membiarkan keributan berlalu di belakang tanpa saya tahu betapa asyiknya saat itu.
            Yah, saya terlambat untuk suatu kegembiraan, dan itu bukan hal yang menyenangkan, bukan?
            Tapi saya datang di saat yang tepat untuk improvisasi skill of interaction saya. Jujur saja, teman-teman saya yang kebanyakan laki-laki itu kocak. Kocak sekali. Guyonan mereka sangat make sense buat saya, nggak garing sama sekali karena seringkali saya harus mikir baru tertawa lebih dulu. Tidak berlebihan saya katakan kalau saya menganggap mereka dan guyonannya adalah hal yang cerdas dan selalu meningkat dari waktu ke waktu, mereka dengan gamblang bilang bahwa mereka mencari-cari bahan guyonan untuk meningkatkan kosakata kelucuan dan memang perlu hal yang ekstrem. Dan mereka bukan orang kudet, mereka orang-orang paling terkenal di angkatan saya. Walaupun juga bukan terkenal prestasi akademik, tapi dengan itu mereka membuat good relationship dengan semua orang tanpa menciptakan gap, menarik teman-teman mereka untuk berpartisipasi dan bagi saya itu keren. Because I can’t do that.
            Terus naik kelas XII, guyonan demi guyonan menjadi barang-barang langka yang sekarang begitu saya rindukan. Di suasana apapun selalu ada guyonan segar. Saya senang sekali. Mereka mood booster yang sangat qualified bagi saya. Tidak lain karena mereka mengerti saya dengan baik, mengerti guyonan macam apa yang nggak basi, dan apalagi kalau mereka bukan orang-orang yang memang dilahirkan untuk lucu? Saya begitu senang memiliki mereka. Tentu nggak bisa saya sebut satu-persatu. Perlahan saya merasa OSIS adalah rumah dan kelas adalah wadah yang baik bagi saya. Saya tumbuh sesuka hati.
            Dan baru beberapa hari di sini, menghadiri beberapa gathering yang entah kenapa bagi saya menjadi menjemukan, tentu karena selain saya tidak punya partner in crime and laugh, saya juga tidak punya common sense orang-orang di sekitar saya untuk membuat sesuatu menjadi lucu. Saya tidak tahu kapan waktunya tertawa, seru, menanggapi dengan dengusan, dan lain sebagainya.
            Sejujurnya, saya minder.
            Sulit bagi saya mengakui ini. Tapi saya merasa sulit beradaptasi dengan lingkungan yang sekarang. Jauh dari rumah, keluarga, teman, terutama orang-orang yang mensupport. Bukan hal yang mudah. Kini saya tahu kepedihan macam apa yang dirasakan Bani saat semua teman berkumpul tapi dia terpelecat sendiri ke Jakarta. Kota dengan individualistis yang nggak bisa diremehkan. Metropolitan yang kalau tidak terkatrol lagi tingkat lingkungan serta kuantitas pendudukan akan menjadi megapolitan yang kejam.
            Saya kini juga merasa terpelecat walaupun ada Sisin yang D3. Tapi saya tahu Sisin pintar bergaul, dia bisa menempatkan diri dengan fleksibel. Berbeda dengan saya yang seolah sudah dibentuk kaku. Semua keseruan, kelucuan, cerewet, perhatian, membeku dalam sikap rikuh yang tidak henti saya rasakan. Rasa takut tidak diterima itu muncul. Padahal saya merasa seolah bisa membaur dengan mudah di lingkungan lama, tepatnya SMA. Bukan sok ngartis, tapi saya tahu orang-orang tahu saya dan saya tahu mereka. Dengan jumlah yang bagaikan siput dibanding raksasanya jumlah mahasiswa baru UGM, semua ini terasa salah. Katakanlah saya pasif. Tapi saya terus berusaha meningkatkan kemampuan berkomunikasi saya. Tidak untuk menjadi orang yang well-known, tapi saya hanya bersikap baik. Saya hanya ingin bersikap baik, tidak berlebihan, tidak dibuat-buat. Sulit.
            Lalu kenapa semua jadi lebih mudah saat jadi diri sendiri di lingkungan lama? Pertanyaan adiktif yang terus menerus menghantui saya dengan awalan kenapa begini dan kenapa begitu.
            Saya berada di sebuah universitas yang bisa dibilang terbaik di negeri ini, seantero negeri melaju, berusaha keras untuk mendapatkan salah satu dari jurusannya. Saya melakukan hal yang sama. Belajar untuk SBMPTN walau disela dengan tangis tak kunjung henti karena beban yang saya tanggung saat itu (kalau Anda membaca posting lama saya, pasti Anda tahu apa yang saya rasakan). Hingga diterima pun, saya tidak pernah merasa hebat atau pintar, saya terus merasa bodoh. Lelah untuk berusaha. Saya seperti pengecut yang ikut arus (kata-kata ini saya comot dari sebuah novel). Saya bukan dari keluarga kaya raya seperti yang banyak ditunjukkan teman-teman satu angkatan saya, saya rasa saya masih bisa membedakan mana yang berpenampilan layak dan pantas dengan berlebihan dan show off. Atau mungkin itu hanya halusinasi akan apa yang berusaha orang lain tunjukkan tapi saya tidak mengapresiasinya dengan baik.
            Saya juga nggak pintar. Merasa semakin berkecil hati. Saya diam-diam sadar saya semakin terpelecat dari orang-orang bermasa depan hebat ini.
            Saya seperti mengkhianati diri saya habis-habisan. Semua itu saya tuangkan dalam sikap yang sama sekali tidak membantu. Menunduk, tidak percaya diri. Berjalan pelan, tidak mencolok. Tersenyum menanggapi, orang bodoh yang tak bisa berkata apa-apa. Membenarkan, seperti pembohong. Hal-hal menjadi begitu sulit saat saya tidak punya keberanian. Bahkan untuk sekedar menunjukkan diri sendiri. Saya perlahan sadar bahwa saya berlaku sangat rikuh. Seolah menjaga diri tapi nyatanya saya hanya terombang-ambing tidak karuan.
            Saya tahu saya hanya akan menjadi buih yang dilupakan. Oleh teman-teman, kakak angkatan, dosen, semua orang. Hanya orang biasa. Bukan hal yang menyeramkan, yang menyeramkan adalah, saat saya begitu takut saya terbiasa dengan itu. Untuk orang seperti saya (seorang adik kelas mengatakan dia melihat saya seperti tokoh antagonis di sinetron saat SMA), hal ini menjadi sebuah momok. Tapi bagi orang lain, tentu saja menjijikkan. Kenapa?
            Saya tahu resolusi hidup saya selama ini. Saya bahkan hampir selalu menyinggungnya dalam setiap posting saya di manapun.
            Saat SMA, saya bergabung dengan klub Teater di SMA. Walaupun saya itu hanya sebuah debut yang menjanjikan karena saya sudah latihan teater sejak SMP, dan semua senior kenal saya di organisasi tersebut. Saya lolos seleksi cheerleaders karena saat itu saya ingin, that’s it. Tapi tidak berapa lama, saya bosan dan memutuskan untuk ikut pencinta alam, mengarungi ganasnya kakak senior, dan mematikannya alam dengan kemampuan yang cetek. Hingga kelas XI, saya bertahan dengan dua ekstrakulikuler yang melambungkan nama saya. Tidak lain juga karena saya anggota OSIS dan seorang yang dikenal have-a-big-mouth-to-shit sehari-hari. Bukan hanya itu, tiba-tiba nama saya terpelecat lagi saat guru-guru tahu saya bisa menyanyi. Bukan sembarang nyanyian. Dangdut. Itu yang saya bisa (tanpa saya sadari, sungguh) dan akhirnya saya pilih untuk saya jadikan identitas saya. Membuat orang-orang kadang memandang melecehkan, tersenyum geli, atau diam saja. Trademark itu saya usung hingga saya didaulat menjadi pemeran utama dalam Mahakarya Pensi yang juga melambungkan nama sekolah.
            Hari-hari setelah itu semua berlangsung seperti yang dikatakan adik kelas saya. Lihat, kan? Bagaimana saya bisa jadi begitu antagonis. Dengan teman-teman yang cenderung homogen dan hura-hura, kami selalu dipandang aneh oleh banyak siswa sekolah kami yang pintar-pintar itu.
            Di kelas XI, saya sempat ikut ekstra basket walaupun hanya dua kali latihan seingat saya. Saya tahu saya tidak selevel dengan atlet-atlet berbadan gempal dan berisi padat yang membuat saya penyemarak saja. Kemudian saya juga join ekstra voli walaupun saya masih gagap, tapi ingin sekali belajar. Lepas tak lama kemudian karena saya ternyata harus mengakui eksistensi saya di bidang dance. Kelas XII, nama saya jadi lebih terpelecat lagi saat saya didaulat menjadi satu dari lima komisi kedisiplinan di sekolah saya saat Masa Orientasi Siswa berlangsung. Inilah badan terhormat yang tidak boleh dibentak bahkan oleh ketua OSIS sekalipun selama masa orientasi itu berlangsung. Mengganas, menggilas adik-adik baru kelas X (jujur saya nikmati, maaf). Dengan aturan tak boleh tertawa dan melanggar peraturan selama seminggu penuh, komisi kedisiplinan adalah lima orang yang paling menakutkan pada fase-fase itu. Saya masih ingat wajah-wajah menunduk siswi putri atau siswa putra yang muak tapi dipendam. Maafkan sekali lagi, saya menikmatinya. Apalagi wajah kaget di hari pertama saat kami masuk dengan menggebrak pintu kemudian berteriak bersahutan menyuruh keluar dari bangku, memeriksa kaus kaki, rambut, kelengkapan atribut. Juga wajah bangga yang kuat saat keluar dari ruang OSIS yang mendadak menjadi pertapaan (tempat kami berlima hanya boleh tertawa selain di rumah) dan dipandangi oleh seluruh penjuru SMASA yang penasaran. Pot pecah bertebaran, name tag sobek, penggaris patah, rambut siswa putra yang tergunting, mata berkaca-kaca siswi putri, banyak sekali hal yang bisa saya ingat dan membuat saya terkesan pada akhirnya.
            Dan saya menyabet peringkat tertinggi pertama untuk bidang IPS di tingkat Kota/Kabupaten. Saya bisa melihat muak itu terlempar dari teman-teman saya yang hidupnya hanya didedikasikan pada leceknya buku pelajaran yang bagaikan kitab. Sementara adik kelas saya heran kenapa buku materi saya rapi semua.
            Salah seorang teman berkata, ”puas wes uripmu? Perfect, kan.” Sarkastik, ya. Tapi itu wajar sebagai seorang yang iri.
            Anda pun akan tahu bagaimana rasanya kalau menghayati cerita saya dari awal tadi. It’s actually happens that time so I became stress. Saya tak pernah menyadarinya hingga saat ini sampai seorang adik kelas main ke rumah dan melihat koleksi novel saya yang bertumpuk, nggak muat lagi di lemari.
            ”Mbak, aku ndak nyongko sampean seneng moco. Maksudku sampe’ seakeh iki. Paleng guru-guru lek ndelok koleksine sampean iki bakal berpikiran lain nang sampean, Mbak.”
            ”Mbak, aku nggak nyangka kamu suka baca. Maksudku sampai sebanyak ini. Mungkin guru-guru kalau melihat koleksimu ini akan berpikiran lain tentang kamu, Mbak.”
            Saya tertegun saat itu.
            Asal tahu saja, nilai Sosiologi dan Matematika saya pernah tak lulus KKM gara-gara saya keasyikan berorganisasi di kelas XI dan selalu bolos kelas. Tak peduli mereka tahu apa yang saya sukai, tapi lihat apa yang mereka beri? Nilai matematika saya tak pernah melewati 8 dan itu menyedihkan. Mengingat teman-teman saya langganan dapat 9. Sebuah judgement buruk yang saya dapat, membuat saya semakin terlihat sebagai sosok antagonis, kan?
            Adik kelas saya bilang, saat ia melihat saya suatu kali bersama teman-teman saya, ia merasa sedang berada di salah satu bagian teenlit di mana tokoh utama adalah gadis cupu atau gadis biasa dan berhadapan dengan sosok-sosok paling dikenal di sekolah. Tokoh antagonis itu anggota cheerleader yang punya banyak kamerad, live a perfect life. Saya tahu ini tidak beralasan. Sejujurnya pula, saya dan teman-teman pernah menyerang teman lain di BBM dengan PM yang bikin nyesek saking pedasnya mulut kami. Saat sahut-sahutan PM yang bukan lagi jadi privasi itu terjadi, semua orang memilih menyingkir, bahkan seorang adik kelas BBM saya; ”mbak, gara-gara statusnya mbak sama temen-temen mbak, aku sampai nggak berani bikin PM dua hari. Selain takut ganggu, takut diincer juga.”
            Masalah berlarut-larut itu pun terpecahkan hingga orang yang kami gencet yang meminta maaf. Bukan buntut yang baik, tapi terpecahkan, kan?
            Sejak dulu saya memang dikenal trengginas. Bukan gadis baik.
            Suka melemparkan kata-kata kotor dan tajam, misuh-misuh bahkan di depan orang yang tidak saya sukai, mengernyit tidak suka, tersenyum melecehkan.
            Semua teman-teman saya mungkin tahu itu tapi orang-orang yang tidak pernah saya kenal secara langsung tapi kami hanya sebatas tahu tanpa artian yang pasti, kenal betul dengan ekspresi-ekspresi itu.
            Saya mungkin terdengar membesar-besarkan. Tapi saya berusaha mencurahkan apa yang saya rasakan selama SMA. Dan bukannya saya buta atau tuli, saya bisa bicara selancar apapun di depan orang yang tidak suka dengan saya tapi saya merasa itu bukan urusan saya. Mungkin semua hal selalu berjalan menurut keinginan saya tanpa saya tahu kenapa dan mengapa. Hingga kini, masuk Sastra Indonesia UGM melalui jalur yang luar biasa sulitnya itu bagi orang lain hanyalah pelengkap dari sebuah kesempurnaan hidup milik seorang teenager. Ara, I know.
            Kalau Anda pernah membaca betapa depresinya saya selepas lulus SMA mungkin ini alasan-alasan yang tepat mengapa saya begitu putus asa.
            Bagi saya hidup bukan hal yang dilalui begitu saja. Saya sering, bahkan selalu berdoa untuk hal-hal remeh temeh dalam hidup saya. Misal saat saya tidak mengerjakan tugas dan berharap guru tidak melihatnya. FYI, kertas ulangan saya pernah disobek gara-gara saya dibilang menyontek dan jarang masuk kelas. Saya menangis seharian untuk hal ini karena selain gurunya baik, beliau tidak pernah menyobek satupun kertas ulangan murid kecuali saya. Memalukan, huh? J
            Itulah yang tokoh antagonis dapatkan, bukan?
            Saya pernah kabur dari rumah. Baru kali ini notice, huh? Terkadang pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di rumah saat semuanya belum terasa begitu jelas bagi saya serasa begitu menyakitkan dan merendahkan. Ketidakberhargaan itu selalu muncul. Hingga pada puncaknya saya memilih kabur ke Jember. Menggelandang. Tante saya dari Kutai khusus menghubungi saya. Om saya bahkan menelepon Puguh yang notabene orang terdekat saya dan mengancam akan melaporkan polisi. Tapi saya sudah tidak peduli. Saat itu saya tidak merasa seperti tokoh utama atau apapun. Saya merasa tidak berharga, bahkan untuk mati bunuh diri dan dimuat di surat kabar pun tidak.
            Pertengkaran itu seringkali terjadi di keluarga saya. Sikap saya yang egois, yang merasa begitu kesepian sejak kepergian Mama, dan Ayah yang menikah lagi membuat saya mungkin menjadi orang paling rasional di rumah. Ditambah dengan stressnya Bunda mengurus dua anak nakal, pembantu yang nggak becus, suami yang bekerja di kota lain, dan kekerasan serta keegoisan saya membuat saya pergi dengan niat bulat. Ke Jember, kota yang melahirkan saya, membesarkan saya dengan caranya yang keras. Membuat saya lebih seperti seorang pecundang daripada petarung ketika saya pergi ke Probolinggo dan meninggalkan teman-teman saya dengan kehidupan yang memilukan. Saya tahu saya kejam.
            Di perjalanan, saya mengirim pesan singkat pada dua sahabat terdekat saya. Rika dan Dewi untuk memberitahukan kepergian saya dan meminta mereka tak mengatakan apa-apa. Mereka begitu panik, begitu sedih. Begitu membuat saya sadar saat itulah saya berarti bagi mereka. Esoknya, saat sarapan, sahabat lain yang kadang saya lupakan mengirimkan pesan singkat pada saya. Fauzi. Kalau nggak salah, Fauzi tahu saat Rika dan Dewi wall to wall di FB. Dia marah-marah karena merasa tidak dihargai, tapi lebih dari itu dia sangat mengkhawatirkan saya.
            Saat saya membalas pesan dari tante saya dengan sangat tidak berperasaan, saya berkata padanya kalau seluruh keluarga kami sudah terpecah belah. Ayah yang selama ini keras tapi selalu berusaha saya pahami pikirannya memilih menikah lagi, tak tahan dalam kesendirian selama bertahun-tahun. Padahal bagi saya, beliaulah yang bisa mengerti kepedihan saya pasca Mama meninggal dan meninggalkan luka yang tak tersembuhkan hingga detik ini. Tapi apa? Beliau memilih meninggalkan saya juga. Saya semakin merasa tak berharga. Bunda dan suaminya begitu bahagia dengan dua anak mereka, begitu hangat sebagai keluarga, tanpa saya di dalam tawa mereka, dalam kehangatan mereka. Saat ada saya, yang tersisa hanyalah kerikuhan. Kak Muda pun sudah punya keluarga kecil bahagia di Kutai. Saya sendiri.
            Tante saya membalasnya dengan sedih. Berkata bahwa pikiran saya tidak sepenuhnya benar. Ia bahkan meminta saya pulang, dengan sendu meminta saya tinggal bersamanya. Keberuntungan saya, sinyal penjelajahan saat itu kritis sehingga tak bisa terlalu lama berkirim pesan ataupun mendengarkan tangisnya lebih lanjut.
            Om SMS tak lama kemudian. Caranya dalam menyelesaikan sesuatu benar-benar mengingatkan saya pada Puguh. Ia bahkan secara gamblang mengatakan Kak Muda yang terus menerus menangis sejak saling SMSan dengan saya. Ia meminta saya tinggal di sana, sekolah di sana. Mereka akan menyayangi saya kalau saya merasa tidak berharga di Probolinggo.
            Tapi saya masih berpikir rasional. Saya tidak ingin merepotkan sesuatu. Dan tak lama saya sadar sikap saya kekanakan walaupun saya tak menyesalinya. Saya pulang saat hati saya sedikit damai walau babak belur. Dijemput Fauzi di terminal, tak banyak kata yang terucap. Bahkan saat bertemu Rika dan Dewi di sekolah, tak satupun pelukan terlempar, air mata tercurah. Saat itulah, saya tahu saya tidak bisa bersikap seperti mereka. Seperti orang lain yang akan menumpahkan masalahnya pada orang yang tepat. Saya tidak bisa. Saya memilih defensif, bertingkah seolah tak ada apa-apa. Saya tahu mereka ragu apakah saya menganggap semua ini hanya main-main. Tapi hati saya tidak. Saya begitu sakit, dan bodohnya tak bisa membiarkan mereka mengetahuinya begitu saja. Biarlah, biarlah luka ini kering dengan jalannya.
            Lihat, apakah itu kehidupan yang sempurna? Walaupun saya punya banyak kenangan di SMA, tapi apakah layak dibanggakan?
            Saya tak seperti apa-apa. Tak layak jadi apa-apa.
            Hanya, setelah masa-masa sulit itu saya merasa masih menghadapinya sekarang. Mungkin jauh lebih sulit. Mungkin menulis memang membuat jalan keluar yang tepat. Setidaknya menjaga saya untuk tidak gila.
            Akan hal-hal yang begitu hedonisme. Akan apatisme. Akan penyesalan.
            Akan kesedihan. Akan kesesakan. Akan kepengecutan. Akan kepergian.
           



                        Akan kesendirian..

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)