For God's Sake
You know, I don’t hope to be the best.
No, I’m lied.
Haha.
Sekian
lama meninggalkan program kesayangan ini akhirnya jatuh lagi ke Ms.Word yang
masih saja 2003. It’s actually out of
date. Banyak post yang menumpuk, menunggu untuk diposting dan saya hanya
bisa meratapinya.
Saya
masih belum bisa mempostingnya. Bukan karena tidak punya waktu, sesungguhnya
sekarang saya pengangguran terselubung. Bukankah itu mahasiswa?
Now, I’m actually comin’ to my
college.
How that feels?
Particularly, attractive. Can’t
found another because my job just attend one meeting in one day, and than go
for walk back to my new room. Than letting my laptop go ahead me. This crazy.
Without anyone that called family by
blood.
Untungnya
masih ada EXO (sarangaa oppa!) yang
masih menemani. Dan Lie To Me yang
sebenarnya jadi inspirasi di kalimat pertama saat membuka posting kali ini.
Sebenarnya
saya sedang menumpahkan sedikit kegilaan sebelum saya cenderung benar-benar
terseret pada hal-hal yang berbau hedonis dan maniak akan satu hal. Seperti
yang saya alami saat ini, EXO. This
boyband is drive me crazy, for God sake. Juga sedang tidak mood baca buku
karena saya lebih cenderung suka menyalahkan suasana kamar yang tidak begitu
mendukung karena masih harus beradaptasi lebih lama lagi dari yang saya duga
sebelumnya (sejujurnya saya tidak pernah menduga akan menghadapi saat-saat
seperti ini, jadi semuanya terasa jauh lebih sulit). Jadi saya terpaksa
membiarkan diri saya tergila-gila pada 12 lelaki tampan yang setiap hari
menghiasi layar laptop saya. Demi Tuhan, saya ingin mencurahkan ini kepada seseorang
dan bertanya apakah ini sehat?
Tapi
apa yang terjadi?
Kesulitan
beradaptasi yang baru kali ini saya alami karena sejujurnya saya merasa tidak
bisa menjadi teman yang asyik untuk diajak main dan seru-seruan. Sejujurnya
saya tidak tahu apa yang sedang dipikirkan teman yang saat itu sedang duduk di
sekitar saya. Apakah saya ini seorang yang nerd?
Weird?
Perbedaan
sense of humor juga yang paling
mendasar karena saya dan teman-teman baru saya kali ini hadir dari seluruh
penjuru tanah air di mana guyonan itu menjadi suatu ciri khas dan identitas.
Dan bagi saya juga merupakan indikator asal-asalan mengenai seberapa lama
sebuah hubungan berjalan. Saya merasakan beberapa tahap adaptasi sebelum apa
yang saya terima bisa saya apresiasikan ke dalam hidup sehari-hari.
Sebutlah,
tentang kelucuan seseorang. Dulu saya terbiasa tertawa untuk banyak hal yang
bagi orang lain nggak lucu. Serius. Tapi saya tidak pernah mempedulikan itu
karena saat SMA (kelas X waktu itu) adalah saat saya melihat orang lain sebagai
go-to-the-hell jika Anda juga tidak
peduli pada saya. Cuek, sesuai dengan prinsip dan kelabilan yang saya bawa
sejak SMP, kemudian akhirnya berpisah dengan teman-teman klop SMP kemudian
menjalin pertemanan yang akrab dengan sekelompok remaja labil (Ha ha) yang
kemudian jadi partner in crime.
Sungguh, sebenarnya saya ingin menyalahkan kelas saya karena saya tepat masuk
kelas keramat XE waktu kelas X tapi saya nggak mau ada seseorang yang membaca
ini seperti sebuah riset untuk Dr. Cal
Lightman. Oke, ini melantur.
Kelas
XI, saat saya mulai stuck di OSIS
gara-gara ada masalah dengan sahabat-sahabat dan ekstrakulikuler, plus seorang
pacar yang juga aktif di organisasi itu, saya perlahan-lahan mengenal teman-teman
OSIS saya. Saat kelas X saya memang dikenal pendiam di OSIS. Saya nggak punya
teman di sana, kebanyakan teman lain yang kenalnya juga ngasal lucu-lucuan
(yang paling saya ingat adalah Ekky dan Bramantio, yang selalu lewat kelas
kalau mau ke kantin belakang dan minjem duit – bayangkan, ini baru kenal – dan
hingga saat ini nggak pernah terhitung :D) juga profesi bertahan saya sebagai
sekretaris OSIS di mana saat rapat (saat paling efisien dan efektif untuk
mengenal pengurus OSIS lain) harus sibuk mencatat notulen. Selalu duduk depan
supaya dengar ucapan koordinator dan amanat kepala sekolah, serta kritik dan
saran bahkan pemecahan saat rapat evaluasi. Jadi saya membiarkan keributan
berlalu di belakang tanpa saya tahu betapa asyiknya saat itu.
Yah,
saya terlambat untuk suatu kegembiraan, dan itu bukan hal yang menyenangkan,
bukan?
Tapi
saya datang di saat yang tepat untuk improvisasi skill of interaction saya. Jujur saja, teman-teman saya yang
kebanyakan laki-laki itu kocak. Kocak sekali. Guyonan mereka sangat make sense buat saya, nggak garing sama
sekali karena seringkali saya harus mikir baru tertawa lebih dulu. Tidak
berlebihan saya katakan kalau saya menganggap mereka dan guyonannya adalah hal
yang cerdas dan selalu meningkat dari waktu ke waktu, mereka dengan gamblang bilang
bahwa mereka mencari-cari bahan guyonan untuk meningkatkan kosakata kelucuan dan
memang perlu hal yang ekstrem. Dan mereka bukan orang kudet, mereka orang-orang paling
terkenal di angkatan saya. Walaupun juga bukan terkenal prestasi akademik, tapi
dengan itu mereka membuat good
relationship dengan semua orang tanpa menciptakan gap, menarik teman-teman
mereka untuk berpartisipasi dan bagi saya itu keren. Because I can’t do that.
Terus naik kelas XII, guyonan demi
guyonan menjadi barang-barang langka yang sekarang begitu saya rindukan. Di
suasana apapun selalu ada guyonan segar. Saya senang sekali. Mereka mood booster yang sangat qualified bagi saya. Tidak lain karena
mereka mengerti saya dengan baik, mengerti guyonan macam apa yang nggak basi,
dan apalagi kalau mereka bukan orang-orang yang memang dilahirkan untuk lucu?
Saya begitu senang memiliki mereka. Tentu nggak bisa saya sebut satu-persatu.
Perlahan saya merasa OSIS adalah rumah dan kelas adalah wadah yang baik bagi
saya. Saya tumbuh sesuka hati.
Dan baru beberapa hari di sini,
menghadiri beberapa gathering yang
entah kenapa bagi saya menjadi menjemukan, tentu karena selain saya tidak punya
partner in crime and laugh, saya juga
tidak punya common sense orang-orang
di sekitar saya untuk membuat sesuatu menjadi lucu. Saya tidak tahu kapan
waktunya tertawa, seru, menanggapi dengan dengusan, dan lain sebagainya.
Sejujurnya, saya minder.
Sulit bagi saya mengakui ini. Tapi
saya merasa sulit beradaptasi dengan lingkungan yang sekarang. Jauh dari rumah,
keluarga, teman, terutama orang-orang yang mensupport. Bukan hal yang mudah.
Kini saya tahu kepedihan macam apa yang dirasakan Bani saat semua teman
berkumpul tapi dia terpelecat sendiri ke Jakarta. Kota dengan individualistis
yang nggak bisa diremehkan. Metropolitan yang kalau tidak terkatrol lagi
tingkat lingkungan serta kuantitas pendudukan akan menjadi megapolitan yang
kejam.
Saya kini juga
merasa terpelecat walaupun ada Sisin yang D3. Tapi saya tahu Sisin pintar
bergaul, dia bisa menempatkan diri dengan fleksibel. Berbeda dengan saya yang
seolah sudah dibentuk kaku. Semua keseruan, kelucuan, cerewet, perhatian,
membeku dalam sikap rikuh yang tidak henti saya rasakan. Rasa takut tidak
diterima itu muncul. Padahal saya merasa seolah bisa membaur dengan mudah di
lingkungan lama, tepatnya SMA. Bukan sok ngartis, tapi saya tahu orang-orang
tahu saya dan saya tahu mereka. Dengan jumlah yang bagaikan siput dibanding
raksasanya jumlah mahasiswa baru UGM, semua ini terasa salah. Katakanlah saya
pasif. Tapi saya terus berusaha meningkatkan kemampuan berkomunikasi saya.
Tidak untuk menjadi orang yang well-known,
tapi saya hanya bersikap baik. Saya hanya ingin bersikap baik, tidak
berlebihan, tidak dibuat-buat. Sulit.
Lalu kenapa semua jadi lebih mudah
saat jadi diri sendiri di lingkungan lama? Pertanyaan adiktif yang terus
menerus menghantui saya dengan awalan kenapa begini dan kenapa begitu.
Saya berada di sebuah universitas
yang bisa dibilang terbaik di negeri ini, seantero negeri melaju, berusaha
keras untuk mendapatkan salah satu dari jurusannya. Saya melakukan hal yang
sama. Belajar untuk SBMPTN walau disela dengan tangis tak kunjung henti karena
beban yang saya tanggung saat itu (kalau Anda membaca posting lama saya, pasti Anda tahu apa yang saya rasakan). Hingga
diterima pun, saya tidak pernah merasa hebat atau pintar, saya terus merasa
bodoh. Lelah untuk berusaha. Saya seperti pengecut yang ikut arus (kata-kata
ini saya comot dari sebuah novel). Saya bukan dari keluarga kaya raya seperti
yang banyak ditunjukkan teman-teman satu angkatan saya, saya rasa saya masih
bisa membedakan mana yang berpenampilan layak dan pantas dengan berlebihan dan show off. Atau mungkin itu hanya
halusinasi akan apa yang berusaha orang lain tunjukkan tapi saya tidak
mengapresiasinya dengan baik.
Saya juga nggak pintar. Merasa
semakin berkecil hati. Saya diam-diam sadar saya semakin terpelecat dari
orang-orang bermasa depan hebat ini.
Saya seperti
mengkhianati diri saya habis-habisan. Semua itu saya tuangkan dalam sikap yang
sama sekali tidak membantu. Menunduk, tidak percaya diri. Berjalan pelan, tidak
mencolok. Tersenyum menanggapi, orang bodoh yang tak bisa berkata apa-apa.
Membenarkan, seperti pembohong. Hal-hal menjadi begitu sulit saat saya tidak
punya keberanian. Bahkan untuk sekedar menunjukkan diri sendiri. Saya perlahan
sadar bahwa saya berlaku sangat rikuh. Seolah menjaga diri tapi nyatanya saya
hanya terombang-ambing tidak karuan.
Saya tahu saya hanya akan menjadi
buih yang dilupakan. Oleh teman-teman, kakak angkatan, dosen, semua orang.
Hanya orang biasa. Bukan hal yang menyeramkan, yang menyeramkan adalah, saat
saya begitu takut saya terbiasa dengan itu. Untuk orang seperti saya (seorang
adik kelas mengatakan dia melihat saya seperti tokoh antagonis di sinetron saat
SMA), hal ini menjadi sebuah momok. Tapi bagi orang lain, tentu saja
menjijikkan. Kenapa?
Saya tahu
resolusi hidup saya selama ini. Saya bahkan hampir selalu menyinggungnya dalam
setiap posting saya di manapun.
Saat SMA, saya
bergabung dengan klub Teater di SMA. Walaupun saya itu hanya sebuah debut
yang menjanjikan karena saya sudah latihan teater sejak SMP, dan semua senior
kenal saya di organisasi tersebut. Saya lolos seleksi cheerleaders karena saat itu saya ingin, that’s it. Tapi tidak berapa lama, saya bosan dan memutuskan untuk
ikut pencinta alam, mengarungi ganasnya kakak senior, dan mematikannya alam
dengan kemampuan yang cetek. Hingga kelas XI, saya bertahan dengan dua
ekstrakulikuler yang melambungkan nama saya. Tidak lain juga karena saya
anggota OSIS dan seorang yang dikenal have-a-big-mouth-to-shit
sehari-hari. Bukan hanya itu, tiba-tiba nama saya terpelecat lagi saat
guru-guru tahu saya bisa menyanyi. Bukan sembarang nyanyian. Dangdut. Itu yang
saya bisa (tanpa saya sadari, sungguh) dan akhirnya saya pilih untuk saya
jadikan identitas saya. Membuat orang-orang kadang memandang melecehkan,
tersenyum geli, atau diam saja. Trademark
itu saya usung hingga saya didaulat menjadi pemeran utama dalam Mahakarya Pensi
yang juga melambungkan nama sekolah.
Hari-hari setelah itu semua
berlangsung seperti yang dikatakan adik kelas saya. Lihat, kan? Bagaimana saya
bisa jadi begitu antagonis. Dengan teman-teman yang cenderung homogen dan
hura-hura, kami selalu dipandang aneh oleh banyak siswa sekolah kami yang
pintar-pintar itu.
Di kelas XI, saya sempat ikut ekstra
basket walaupun hanya dua kali latihan seingat saya. Saya tahu saya tidak
selevel dengan atlet-atlet berbadan gempal dan berisi padat yang membuat saya
penyemarak saja. Kemudian saya juga join ekstra voli walaupun saya masih gagap,
tapi ingin sekali belajar. Lepas tak lama kemudian karena saya ternyata harus
mengakui eksistensi saya di bidang dance.
Kelas XII, nama saya jadi lebih terpelecat lagi saat saya didaulat menjadi satu
dari lima komisi kedisiplinan di sekolah saya saat Masa Orientasi Siswa
berlangsung. Inilah badan terhormat yang tidak boleh dibentak bahkan oleh ketua
OSIS sekalipun selama masa orientasi itu berlangsung. Mengganas, menggilas
adik-adik baru kelas X (jujur saya nikmati, maaf). Dengan aturan tak boleh
tertawa dan melanggar peraturan selama seminggu penuh, komisi kedisiplinan adalah
lima orang yang paling menakutkan pada fase-fase itu. Saya masih ingat
wajah-wajah menunduk siswi putri atau siswa putra yang muak tapi dipendam.
Maafkan sekali lagi, saya menikmatinya. Apalagi wajah kaget di hari pertama
saat kami masuk dengan menggebrak pintu kemudian berteriak bersahutan menyuruh
keluar dari bangku, memeriksa kaus kaki, rambut, kelengkapan atribut. Juga
wajah bangga yang kuat saat keluar dari ruang OSIS yang mendadak menjadi
pertapaan (tempat kami berlima hanya boleh tertawa selain di rumah) dan
dipandangi oleh seluruh penjuru SMASA yang penasaran. Pot pecah bertebaran, name tag sobek, penggaris patah, rambut
siswa putra yang tergunting, mata berkaca-kaca siswi putri, banyak sekali hal
yang bisa saya ingat dan membuat saya terkesan pada akhirnya.
Dan saya menyabet peringkat
tertinggi pertama untuk bidang IPS di tingkat Kota/Kabupaten. Saya bisa melihat
muak itu terlempar dari teman-teman saya yang hidupnya hanya didedikasikan pada
leceknya buku pelajaran yang bagaikan kitab. Sementara adik
kelas saya heran kenapa buku materi saya rapi semua.
Salah seorang teman berkata, ”puas wes uripmu? Perfect, kan.”
Sarkastik, ya. Tapi itu wajar sebagai seorang yang iri.
Anda pun akan tahu bagaimana rasanya
kalau menghayati cerita saya dari awal tadi. It’s actually happens that time so I became stress. Saya tak pernah
menyadarinya hingga saat ini sampai seorang adik kelas main ke rumah dan
melihat koleksi novel saya yang bertumpuk, nggak muat lagi di lemari.
”Mbak,
aku ndak nyongko sampean seneng moco. Maksudku sampe’ seakeh iki. Paleng
guru-guru lek ndelok koleksine sampean iki bakal berpikiran lain nang sampean,
Mbak.”
”Mbak,
aku nggak nyangka kamu suka baca. Maksudku sampai sebanyak ini. Mungkin
guru-guru kalau melihat koleksimu ini akan berpikiran lain tentang kamu, Mbak.”
Saya tertegun saat itu.
Asal tahu saja, nilai Sosiologi dan
Matematika saya pernah tak lulus KKM gara-gara saya keasyikan berorganisasi di
kelas XI dan selalu bolos kelas. Tak peduli mereka tahu apa yang saya sukai,
tapi lihat apa yang mereka beri? Nilai matematika saya tak pernah melewati 8
dan itu menyedihkan. Mengingat teman-teman saya langganan dapat 9. Sebuah judgement buruk yang saya dapat, membuat
saya semakin terlihat sebagai sosok antagonis, kan?
Adik kelas saya bilang, saat ia
melihat saya suatu kali bersama teman-teman saya, ia merasa sedang berada di
salah satu bagian teenlit di mana tokoh utama adalah gadis cupu atau gadis
biasa dan berhadapan dengan sosok-sosok paling dikenal di sekolah. Tokoh
antagonis itu anggota cheerleader
yang punya banyak kamerad, live a perfect
life. Saya tahu ini tidak beralasan. Sejujurnya pula, saya dan teman-teman pernah
menyerang teman lain di BBM dengan PM yang bikin nyesek saking pedasnya mulut
kami. Saat sahut-sahutan PM yang bukan lagi jadi privasi itu terjadi, semua
orang memilih menyingkir, bahkan seorang adik kelas BBM saya; ”mbak, gara-gara
statusnya mbak sama temen-temen mbak, aku sampai nggak berani bikin PM dua
hari. Selain takut ganggu, takut diincer juga.”
Masalah berlarut-larut itu pun
terpecahkan hingga orang yang kami gencet yang meminta maaf. Bukan buntut yang
baik, tapi terpecahkan, kan?
Sejak dulu saya memang dikenal
trengginas. Bukan gadis baik.
Suka melemparkan kata-kata kotor dan
tajam, misuh-misuh bahkan di depan orang yang tidak saya sukai, mengernyit
tidak suka, tersenyum melecehkan.
Semua teman-teman saya mungkin tahu
itu tapi orang-orang yang tidak pernah saya kenal secara langsung tapi kami
hanya sebatas tahu tanpa artian yang pasti, kenal betul dengan
ekspresi-ekspresi itu.
Saya mungkin terdengar
membesar-besarkan. Tapi saya berusaha mencurahkan apa yang saya rasakan selama
SMA. Dan bukannya saya buta atau tuli, saya bisa bicara selancar apapun di
depan orang yang tidak suka dengan saya tapi saya merasa itu bukan urusan saya.
Mungkin semua hal selalu berjalan menurut keinginan saya tanpa saya tahu kenapa
dan mengapa. Hingga kini, masuk Sastra Indonesia UGM melalui jalur yang luar
biasa sulitnya itu bagi orang lain hanyalah pelengkap dari sebuah kesempurnaan
hidup milik seorang teenager. Ara, I know.
Kalau Anda pernah membaca betapa
depresinya saya selepas lulus SMA mungkin ini alasan-alasan yang tepat mengapa
saya begitu putus asa.
Bagi saya hidup bukan hal yang
dilalui begitu saja. Saya sering, bahkan selalu berdoa untuk hal-hal remeh
temeh dalam hidup saya. Misal saat saya tidak mengerjakan tugas dan berharap
guru tidak melihatnya. FYI, kertas ulangan saya pernah disobek gara-gara saya
dibilang menyontek dan jarang masuk kelas. Saya menangis seharian untuk hal ini
karena selain gurunya baik, beliau tidak pernah menyobek satupun kertas ulangan
murid kecuali saya. Memalukan, huh? J
Itulah yang tokoh antagonis
dapatkan, bukan?
Saya pernah kabur dari rumah. Baru
kali ini notice, huh? Terkadang
pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di rumah saat semuanya belum terasa
begitu jelas bagi saya serasa begitu menyakitkan dan merendahkan. Ketidakberhargaan
itu selalu muncul. Hingga pada puncaknya saya memilih kabur ke Jember.
Menggelandang. Tante saya dari Kutai khusus menghubungi saya. Om saya bahkan
menelepon Puguh yang notabene orang terdekat saya dan mengancam akan melaporkan
polisi. Tapi saya sudah tidak peduli. Saat itu saya tidak merasa seperti tokoh
utama atau apapun. Saya merasa tidak berharga, bahkan untuk mati bunuh diri dan
dimuat di surat kabar pun tidak.
Pertengkaran itu seringkali terjadi
di keluarga saya. Sikap saya yang egois, yang merasa begitu kesepian sejak
kepergian Mama, dan Ayah yang menikah lagi membuat saya mungkin menjadi orang
paling rasional di rumah. Ditambah dengan stressnya Bunda mengurus dua anak
nakal, pembantu yang nggak becus, suami yang bekerja di kota lain, dan
kekerasan serta keegoisan saya membuat saya pergi dengan niat bulat. Ke Jember,
kota yang melahirkan saya, membesarkan saya dengan caranya yang keras. Membuat
saya lebih seperti seorang pecundang daripada petarung ketika saya pergi ke
Probolinggo dan meninggalkan teman-teman saya dengan kehidupan yang memilukan.
Saya tahu saya kejam.
Di perjalanan, saya mengirim pesan
singkat pada dua sahabat terdekat saya. Rika dan Dewi untuk memberitahukan
kepergian saya dan meminta mereka tak mengatakan apa-apa. Mereka begitu panik,
begitu sedih. Begitu membuat saya sadar saat itulah saya berarti bagi mereka.
Esoknya, saat sarapan, sahabat lain yang kadang saya lupakan mengirimkan pesan
singkat pada saya. Fauzi. Kalau nggak salah, Fauzi tahu saat Rika dan Dewi wall
to wall di FB. Dia marah-marah karena merasa tidak dihargai, tapi lebih dari
itu dia sangat mengkhawatirkan saya.
Saat saya membalas pesan dari tante
saya dengan sangat tidak berperasaan, saya berkata padanya kalau seluruh
keluarga kami sudah terpecah belah. Ayah yang selama ini keras tapi selalu
berusaha saya pahami pikirannya memilih menikah lagi, tak tahan dalam
kesendirian selama bertahun-tahun. Padahal bagi saya, beliaulah yang bisa
mengerti kepedihan saya pasca Mama meninggal dan meninggalkan luka yang tak
tersembuhkan hingga detik ini. Tapi apa? Beliau memilih meninggalkan saya juga.
Saya semakin merasa tak berharga. Bunda dan suaminya begitu bahagia dengan dua
anak mereka, begitu hangat sebagai keluarga, tanpa saya di dalam tawa mereka,
dalam kehangatan mereka. Saat ada saya, yang tersisa hanyalah kerikuhan. Kak
Muda pun sudah punya keluarga kecil bahagia di Kutai. Saya sendiri.
Tante saya membalasnya dengan sedih.
Berkata bahwa pikiran saya tidak sepenuhnya benar. Ia bahkan meminta saya
pulang, dengan sendu meminta saya tinggal bersamanya. Keberuntungan saya,
sinyal penjelajahan saat itu kritis sehingga tak bisa terlalu lama berkirim
pesan ataupun mendengarkan tangisnya lebih lanjut.
Om SMS tak lama kemudian. Caranya
dalam menyelesaikan sesuatu benar-benar mengingatkan saya pada Puguh. Ia bahkan
secara gamblang mengatakan Kak Muda yang terus menerus menangis sejak saling
SMSan dengan saya. Ia meminta saya tinggal di sana, sekolah di sana. Mereka
akan menyayangi saya kalau saya merasa tidak berharga di Probolinggo.
Tapi saya
masih berpikir rasional. Saya tidak ingin merepotkan sesuatu. Dan tak lama saya
sadar sikap saya kekanakan walaupun saya tak menyesalinya. Saya pulang saat
hati saya sedikit damai walau babak belur. Dijemput Fauzi di terminal, tak
banyak kata yang terucap. Bahkan saat bertemu Rika dan Dewi di sekolah, tak
satupun pelukan terlempar, air mata tercurah. Saat itulah, saya tahu saya tidak
bisa bersikap seperti mereka. Seperti orang lain yang akan menumpahkan
masalahnya pada orang yang tepat. Saya tidak bisa. Saya memilih defensif,
bertingkah seolah tak ada apa-apa. Saya tahu mereka ragu apakah saya
menganggap semua ini hanya main-main. Tapi hati saya tidak. Saya begitu sakit,
dan bodohnya tak bisa membiarkan mereka mengetahuinya begitu saja. Biarlah,
biarlah luka ini kering dengan jalannya.
Lihat, apakah itu kehidupan yang
sempurna? Walaupun saya punya banyak kenangan di SMA, tapi apakah layak
dibanggakan?
Saya tak seperti apa-apa. Tak layak
jadi apa-apa.
Hanya, setelah masa-masa sulit itu
saya merasa masih menghadapinya sekarang. Mungkin jauh lebih sulit. Mungkin
menulis memang membuat jalan keluar yang tepat. Setidaknya menjaga saya untuk
tidak gila.
Akan hal-hal yang begitu hedonisme.
Akan apatisme. Akan penyesalan.
Akan kesedihan. Akan kesesakan. Akan
kepengecutan. Akan kepergian.
Akan kesendirian..
Comments
Post a Comment